Dunia akademik memiliki peran penting dalam mengelaborasi berbagai isu di masyarakat. Mulai dari politik, sains, pendidikan, teknologi, hingga ketenagakerjaan, Persoalan tersebut memerlukan diskusi bersama, tidak hanya antar pemangku kepentingan, namun juga lintas disiplin dan negara. Untuk itu, The 12th International Graduate Students and Scholars’ Conference in Indonesia (IGSSCI) 2023 kembali diadakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM dengan tema “Ethics and Accountability in Politics, Sciences, and Professions” pada Selasa (7/11).
“Tema konferensi ini banyak berhubungan dengan lintas disiplin. Terlebih dengan adanya Pemilu 2024 di Indonesia mendatang, kita perlu membawa isu politik etis. Selain itu, perkembangan teknologi sains yang membawa perubahan pada sektor pertahanan, pengembangan biomedis, bidang-bidang ini memerlukan penerapan etis yang berbeda. Begitu juga dengan perkembangan AI yang membuat kita perlu memikirkan masa depan dari segala aspek,” tutur Dicky Sofjan, MPP, M.A., Ph.D. selaku Ketua Penyelenggara sekaligus bagian dari Indonesian Consortium for Religious Studies.
Industri 4.0 pada dasarnya memberikan tantangan bagi manusia untuk menghadapi pesatnya perkembangan teknologi, sains, bahkan ideologi. Meskipun teknologi dibuat untuk mempermudah kehidupan manusia, tak jarang hal ini justru mengakomodasi kepentingan beberapa pihak, sehingga merugikan pihak yang lain. Gambaran ini dapat dilihat dari berbagai isu yang muncul, seperti kecanggihan AI yang mempersempit lapangan kerja, penelitian sains yang digunakan untuk senjata perang, dan politik yang justru menciptakan kesenjangan. Sektor- sektor tersebut memerlukan pendampingan etis dan akuntabilitas agar tetap mengedepankan kemanusiaan.
“Saya senang dengan adanya kolaborasi negara-negara, seperti Singapura, Malaysia, US, Belanda, Switzerland, Filipina, Jerman, India, dan delegasi negara lain. Kami berharap diskusi akademik ini bisa bermanfaat, tidak hanya bagi Indonesia yang akan menghadapi tahun politik, tapi juga negara lain,” ucap Dekan Sekolah Pascasarjana UGM, Prof. Ir. Siti Malkhamah, M.Sc., Ph.D. Konferensi diselenggarakan dalam tiga sesi, yaitu main session, parallel session, dan special panel. Setiap panel menghadirkan pembicara akademisi dan ahli dari berbagai negara. Tak hanya itu, special panel juga dihadiri oleh Focolare, Indonesia Consortium For Religious Studies (ICRS), dan Institute For Indonesian Academic Partnership (IIAP).
Salah satu topik yang dibawa dalam konferensi ini adalah gaya politik Indonesia banyak memanfaatkan kontrol masyarakat sebagai dukungan politik semata. Bukan untuk membangun demokrasi itu sendiri. Prof. Purwo Santoso, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM menuturkan, demokrasi bangsa tengah mengalami transisi melalui berbagai konflik dan konsolidasi yang muncul. “Kontestasi politik saat ini, termasuk di dalamnya ada demokrasi. Hanya dimaknai sebagai siapa pemenang dari pemilihan. Media juga cenderung tertarik untuk membicarakan pemenang pemilu dibanding suara atau artikulasi dari kedaulatan rakyat itu sendiri,” ungkapnya.
Menurut Prof. Purwo, keberagaman komponen di masyarakat hanya dijadikan sebagai alat politik bagi kepentingan tertentu untuk meraih suara terbanyak. Padahal, setiap individu yang diakui sebagai warga negara memiliki kepentingan, kewenangan, dan keharusan untuk berpartisipasi dalam politik dengan berbagai cara. “Kita masih memiliki sistem politik yang perlu dievaluasi. Semisal saja, partai politik yang membutuhkan elektabilitas, biasanya akan memberikan bantuan pada masyarakat untuk mendapatkan suara. Mereka bahkan tidak membicarakan kebijakan seperti apa yang akan dikedepankan. Nah, ini adalah persoalan yang perlu didorong. Agar rakyat dimaknai sebagai rakyat berdaulat, bukan alat politik,” tambahnya.
Penulis: Tasya