Yogya (KU) – Pensiunan Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Prof. drh. Subronto, M.Sc., Ph.D., meluncurkan buku tentang pengalamannya selama 40 tahun sebagai dokter hewan. Pengalaman tersebut dirangkum dalam buku berjudul Prof. Brontosaurus, Hari-hari Seorang Dokter Hewan.
Buku setebal 144 halaman itu menceritakan pengalaman dirinya sebagai seorang praktisi dalam menangani hewan penderita. Salah satu pengalaman unik yang diceritakan Subronto dalam buku tersebut adalah saat dirinya menangkap macan liar yang masuk ke areal kampus UGM pada tahun 1976. Diceritakan bahwa kala itu macan tutul dari Gembira Loka terlepas dan masuk ke areal kampus UGM. Macan tutul tersebut bersembunyi di Laboratorium Kimia, Fakultas Teknologi Pertanian, setelah sebelumnya berhasil masuk ruangan dengan menerjang kaca jendela.
Subronto saat itu dihubungi Dekan FKH, drh. Abdul Muis, dan ditugaskan untuk menangkap si macan. Lantas, ia pun berusaha membeli beberapa daging segar di pasar yang sudah diberi obat bius agar macan dapat ditangkap. Namun, ternyata daging tersebut tidak digubris oleh sang macan. “Karena keterbatasan semacam senapan bius dan alat lainnya, akhirnya saya menyiram cairan eter ke ruangan tempat macan bersembunyi dengan menelusup di atas genteng. Akhirnya, macan tersebut pingsan dan bisa ditangkap,” kata Subronto dalam acara bedah bukunya yang diselenggarakan oleh BEM FKH UGM di Auditorium FKH UGM, Minggu (2/5).
Selain itu, Subronto menceritakan pengalamannya mengobati luka tiga ekor anjing dengan getah pelepah pisang. Hal itu dilakukan berdasarkan pengalaman turun temurun tentang resep obat tradisional yang dapat menyembuhkan luka irisan dengan getah pisang. Dua cerita tersebut merupakan bagian dari 21 pengalaman unik yang diceritakan Subronto dalam mengobati penyakit pada binatang liar tanpa obat-obatan dan peralatan memadai.
Direktur Utama PT Eka Poultry Semarang, drh. E. Noegroho, sebagai pembahas dalam acara tersebut memberikan apresiasi kepada Subronto yang mau membagikan pengalaman pribadinya sebagai dokter hewan. Menurut Noegroho, pengalaman yang dialami Subronto dalam mengobati hewan tidak didapatkan di bangku kuliah.
“Pengalaman seperti ini tidak dijumpai di bangku kuliah. Apalagi bekerja di pedesaan, alat-alat tidak semuanya lengkap. Dokter hewan harus siap menghadapi situasi ini,” kata alumnus FKH UGM yang menjadi wirausaha ini.
Nugroho juga memberikan penghargaan kepada Subronto yang produktif menulis buku tentang dokter hewan di tengah masih minimnya buku tentang dunia kedokteran hewan.
Kepada calon dokter hewan, Noegroho menyarankan perlunya banyak belajar tentang obat-obatan yang berasal dari tanaman. Hal itu disebabkan penempatan dokter hewan di daerah pedesaan memiliki keterbatasan dalam hal obat-obatan, padahal mereka harus dapat menangani setiap kasus.
Selain buku Brontosaurus, sebelumnya juga dibahas buku lainnya karya Prof. Subronto, Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Hadir sebagai pembahas buku tersebut, staf pengajar Bagian Parasitologi FKH UGM, drh. Sumartono, S.U., D.E.A., dan mahasiswa program profesi, Ismadi Putro, S.K.H. (Humas UGM/Gusti Grehenson)