Subak merupakan kelompok pertanian tradisional yang terorganisir dalam hal pengelolaan irigasi pada masyarakat adat di Bali. Subak memiliki landasan berupa falsafah Tri Hita Karana yang merupakan konsep harmoni bagi masyarakat Bali. Falsafah Tri Hita Karana digunakan untuk memecahkan permasalahan pertanian karena berprinsip menjaga keharmonisan dengan Tuhan, sesama anggota Subak, serta lingkungan alam.
Dengan falsafahnya tersebut, kelompok Subak dikatakan sangat unik karena hanya ada satu-satunya di Indonesia, bahkan di dunia. Keunikannya tersebut membuat Subak diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO dalam kategori tangible dan intangible pada tahun 2012.
Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, semakin pesatnya pembangunan pariwisata di Bali dianggap tidak lagi sejalan dengan konsep pelestarian Subak. Beberapa permasalahan yang terjadi terkait di dalamnya adalah maraknya konversi lahan milik Subak, degradasi nilai Tri Hita Karana, dan lahirnya budaya pragmatis pada generasi muda yang menyebabkan mereka tidak mau menjadi petani untuk melestarikan Subak. Hal ini menjadi semakin kontradiktif mengingat pariwisata merupakan sektor utama penyokong ekonomi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bali.
Permasalahan ini memberikan ide bagi Citra Cahya Adhieni dan Akhmad Khanif (Fakultas Ilmu Budaya), serta Rahmayanti (Fakultas Psikologi) untuk mengungkap ketahanan kelompok Subak dalam menghadapi pesatnya pembangunan pariwisata di Bali. Mereka dibimbing langsung oleh dosen Drs. Pande Made Kutanegara, M.Si, Ph.D., untuk mengangkat peneltian tersebut melalui program PKM PSH Kemristekdikti.
Citra Bersama timnya melakukan penelitian di Kabupaten Gianyar, Bali selama dua minggu, tepatnya dari 20 Aril sampai 3 Mei 2019. Mereka melibatkan melibatkan 18 informan, yang di antaranya kepala Subak (pekaseh), petani, Ahli Subak Bali, kepala adat, pengelola Museum Subak dan beberapa dinas terkait,
Hasilnya, Khanif memaparkan bahwa nilai Tri Hita Karana saat ini masih digunakan oleh para petani Subak dalam mengelola lahan mereka secara ideologis. Namun secara praktis, terdapat nilai yang mereka degradasi. “Nilai yang mulai terdegradasi antaranya adalah palemahan berupa menjaga hubungan harmonis dengan alam. Hal ini menyebabkan maraknya penjualan lahan,” kata Khanif, Senin (24/6).
Khanif melanjutkan ketika terjadi degradasi satu nilai dari Tri Hita karana maka akan menyebabkan nilai-nilai yang lain juga terganggu karena nilai ini saling berelasi satu sama lain. Sementara itu, dinamika yang terjadi adalah timbulnya dilema di antara kelompok Subak.
Rahmayanti mengungkapkan bahwa ada empat situasi yang menjadi dilema kelompok Subak, antara lain: (1) Tingginya biaya pengeluaran untuk bertani; (2) Berkembangnya pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata; (3) Keyakinan untuk menjalankan kepercayaan yang dianut; dan (4) Dorongan sosial.
Keempat situasi tersebut, menurut Rahmayanti, membuat petani anggota Subak sulit menjalankan pertaniannya. Hal itu terlebih ketika kondisi perekonomian petani terhimpit, maka akan sangat mudah untuk melepas lahan pertanian. “Pelepasan lahan pertanian milik Subak terjadi karena keinginan para pemilik lahan untuk meningkatkan taraf perekonomiannya. Mereka yang kemudian menjual tanahnya terdorong oleh empat faktor tadi,” ujarnya.
Ia menyimpulkan bahwa ketika empat kondisi tersebut terjadi secara terus menerus dan tidak ada solusi permasalahan yang bertujuan untuk menyejahterakan petani anggota Subak, maka lambat laun Subak akan mengalami kepunahan. “Subak merupakan warisan budaya intangible, sehingga kelestariannya tergantung dari apa yang terjadi di dalam kelompok Subak sebagai pelaku budaya,.” Katanya.
Windia, Ahli Subak Bali yang mereka temui, menegaskan bahwa telah banyak akademisi dan ahli yang merumuskan kebijakan untuk melestarikan Subak. Namun hal itu percuma karena pada akhirnya pemerintahlah sebagai pelaksana kebijakan yang dirasa belum dapat menggapainya dengan baik. “Saya merasa belum ada kebijakan strategis dari pemerintah untuk menjaga sawah dan subak,” tegasnya ketika mereka temui pada Selasa (21/5) lalu.
Citra menambahkan pemerintah perlu membuat kebijakan kembali dengam mengambil perspektif dari masyarakat terkait pelestarian Subak yang dapat menyejahterakan masyarakat meskipun berdampingan dengan pariwisata. “Jika mereka butuh Policy briefs bisa juga melibatkan kami karena ini merupakan pertanggungjawaban tim kami setelah melakukan penelitian ini. Setidaknya nanti dapat dijadikan acuan kebijakan pelestarian subak pada tingkat-tingkat tertentu,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)