Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM kembali mengadakan Seminar Series Kepariwisataan untuk bulan Juni 2019 pada Senin (18/6) di Ruang Pertemuan Puspar UGM. Tema yang diangkat kali ini adalah “Menata Ulang Tata Kelola Destinasi Wisata Pusaka Budaya Kawasan Borobudur”. Untuk membedahnya, Puspar menghadirkan Dr. Amiluhur Soeroso, Pemerhati Warisan Budaya.
Soeroso memulai pemaparannya dengan menjelaskan bahwa UNESCO menahbiskan kawasan percandian di Magelang tersebut sebagai Borobudur Temple Compound. Penahbisan tersebut telah dilakukan hampir tiga dekade yang lalu.
Penambahan Compound dari isitilah yang diberikan UNESCO tadi, terang Soeraso, mengartikan agar fokus kawasan tersebut tidak semata pada Candi Borobudur saja, melainkan juga pada dua candi lainnya, yakni Mendut dan Pawon, beserta kawasan di sekelilingnya.
“Bila pengertian tersebut dipertajam lagi, kawasan tersebut meliputi kehidupan manusia dan makhluk hidup serta benda lain yang berada di sekitarnya. Oleh karenanya, penetapan Borobudur sebagai pusaka budaya dunia sudah seharusnya berujung pada kemaslahatan manusia di sekelilingnya.,” papar Dosen Pascasarjana MKP FISIPOL UGM ini.
Akan tetapi, menurut Soeroso, kenyataannya pengelolaan Borobudur, baik yang bersifat konservasi, kepariwisataan, maupun kemasyarakatan, seringkali menimbulkan ketidakharmonisan. “Para pemangku kebijakan atas nama negara, saling berlomba memenuhi targetnya sendiri. Sementara masyarakat harus berjuang sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri menghalau kemiskinan,” ungkapnya.
Soeroso menekankan seharusnya pengelolaan kawasan Borobudur perlu tinjauan dari banyak aspek, tidak hanya ekonomi ataupun budaya semata. Ia menerangkan bahwa tinjauan tersebut harus holistik, meliputi kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup. “Hal iu termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain,” ujarnya.
Atas keresahannya tersebut, Soeroso menawarkan sebuah solusi, yakni perubahan paradigma pengelolaan pusaka. Ia menjelaskan bahwa paradigma lama memandang kawasan ini sebagai lokasi yang adi pusaka harus diubah menjadi pusaka pusaka rakyat.
“Sebelumnya kita memandang kawasan ini sebagai objeknya, monumental, elite, sektoral, ekonomis, serta kuantitatif. Pandangan itu harus diubah dengan memandangnya sebagai subjek, ruang tempat manusia biasa, populis, terintegrasi, lingkungan sosial-budaya dan biofisik, serta kualitatif,” tegasnya.
Kemudian, Soeroso menjabarkan ekosistem dari pengelolaan kawasan ini juga perlu diubah dengan mempertimbangkan tiga hal dasar, yakni, ekonomi, sosial-budaya, dan bio-geofisik. Kesatuan ketiganya menghadirkan harmoni antara pusaka berwujud dan tidak berwujud. “Kesatuannya juga menghadirkan fungsi ekologis, eko-ekonomi, serta ekobudaya yang memperhatikan kepentingan makhluk hidup di sekeliling kawasan,” terangnya.
Selain itu, hal penting lain dari perubahan paradigma dari konsep pengelolaan ini adalah penggabungan institusi pengelola, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat. Hal ini bukan berarti menafikan lembaga yang sudah ada, namun harus dipandang sebagai sebuah sinergi. Penggabungan akan mempermudah alur koordinasi, mengurangi beban pemerintah pusat untuk mendanai, dan menyingkat proses redistribusi.
Dampaknya, menurut Soeroso, masyarakat akan merasakan langsung keuntungan dari pengelolaan kawasan ini sehingga kesejahteraan mereka akan meningkat dengan sendirinya. Hal itu juga akan membuat mereka lebih berempati pada badan hukum negara.
“Penggabungan ini juga sesuai dengan permintaan dari UNESCO, yakni pusaka dunia mestinya hanya dikelola oleh satu badan saja. Isinya boleh saja beragam, tapi koordinasi tetap harus satu,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)