
Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM menyelenggarakan Bedah Buku pada Kamis (9/5) di Kantor Badan Otorita Borobudur, Yogyakarta. Acara ini merupakan bagian dari agenda Seminar Series Kepariwisataan yang secara berkala diselenggarakan Puspar UGM. Buku yang dibedah berjudul “Kebijakan Pariwisata : Sebuah Pengantar untuk Negara Berkembang” karya Dr. Riant Nugroho, pakar kebijakan publik.
Prof. Dr-Phil. Janianton Damanik, M.Si., Kepala Puspar UGM yang hadir sebagai moderator, menyatakan bahwa perekonomian DIY hanya bisa bertumpu pada sektor pendidikan dan pariwisata. Dengan alasan itu, ia menyebut Jogja sebagai kota industri jasa. “Bidang pendidikan sudah sejak dulu mendapat perhatian, sementara pariwasata baru saat ini diupayakan, salah satunya dengan dibangunnya bandara di Kulonprogo,” ujarnya
Menurut Janianto, kunci untuk memperbaiki kualitas pariwisata Indonesia agar menjadi lebih baik adalah melalui kebijakan publik. Kebijakan itu tentunya tetap harus berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dari berbagai kelas. Oleh karena itu, ia menyebut buku karya Riant tadi sebagai angin segar untuk mengisi kekosongan topik kepariwisataan di Indonesia, utamanya terkait dengan aspek kebijakan publik tersebut.
Dalam buku terbitan Pustaka Pelajar tahun 2018 itu, Riant menyebutkan bahwa salah satu ciri negara maju adalah negara yang jumlah kunjungan wisatawan internasionalnya besar. Ia menyebut negara tersebut berpedoman pariwisata sejati adalah tentang kesenjangan kultural (peradaban) antar bangsa. “Pariwisata yang sejati memiliki arti bagaimana warga suatu bangsa belajar dari bangsa lain yang lebih hebat daripadanya,” papar Staf Ahli Kementrian Pariwisata RI ini.
Untuk konteks Indonesia, menurut Riant, sudah tepat jika pemerintah sekarang terus memacu pertumbuhan sektor pariwisata sebagai core bisnis negara. Ia melihat bahwa Indonesia termasuk wilayah yang potensial untuk pariwisata. “Destinasi pariwisata adalah tentang roh kultural, dan Indonesia sudah banyak memilikinya, seperti Bali, Yogyakarta, dan sebagainya,” ujarnya.
Akan tetapi, Riant mengungkapkan hambatan yang dihadapi Indonesia selama ini adalah potensi pariwisata yang dimilikinya tadi tetap menjadi potensi, tidak pernah menjadi aset atau bahkan kapital. Ia menyebut hal itu terjadi karena pembangunan pariwisata Indonesia tidak terencana secara baik.
“Perencanaan kebijakan publik tentang pariwisata selama ini dipahami masyarakat hanya sebatas program pemerintah untuk pendapatan daerah semata, bukan untuk kebutuhan rakyat. Padahal, sebenarnya kebijakan publik adalah manajemen teknologi yang akan menghasilkan nilai bersama,” terangnya.
Dalam menentukan kebijakan publik, Riant mengacu pada lima tahapan, antara lain : pertama, ubah potensi menjadi peluang; kedua, dari peluang menjadi aset; ketiga, dari aset menjadi kekayaan; keempat, dari kekayaan menjadi kesejahteraan; dan kelima, dari kesejahteraan menjadi kemenangan/keuntungan. “Saat ini Indonesia baru sampai di tahap kedua, masih harus menempuh jalan panjang untuk mencapai tahapan akhir,” tuturnya.
Saat ini, Riant menuturkan hal yang harus dilakukan Indonesia adalah membuat kebijakan yang sesuai dengan tahapan itu. Kebijakan pariwisata yang terkini adalah menjadikan semua tempat menjadi destinasi wisata. Perkembangan teknologi memberi patokan mudah bahwa tempat wisata sekarang adalah yang instagramable atau tampak cantik jika difoto dan diunggah ke media sosial.
Untuk mewujudkan hal itu, Riant menyarankan agar kebijakan pariwisata di Indonesia berpatokan dengan Sapta Pesona, yakni aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. “Patokan ini merupakan sebuah kondisi yang harus diwujudkan dalam rangka menarik minat wisatawan internasional agar berkunjung ke Indonesia,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)