Peneliti asal Belanda, Ward Berenschot, menyebutkan bahwa biaya politik di Indonesia perlu diturunkan. Hal ini, ujarnya, memiliki kaitan erat dengan fenomena politik transaksional yang masih mewarnai proses Pemilu.
“Untuk menguatkan demokrasi Indonesia, saya pikir penting untuk memikirkan bagaimana menurunkan biaya politik,” ucapnya dalam acara bedah buku yang diselenggarakan Departemen Politik Pemerintahan UGM bekerja sama dengan KITLV dan Yayasan Pustaka Obor, Kamis (18/4) di Ruang Seminar Timur FISIPOL.
Dalam buku “Democracy for Sale: Pemilu, Klientalisme, dan Negara di Indonesia” yang ia tulis bersama Edward Aspinall, Ward menggambarkan politik dan demokrasi di Indonesia dalam ruang informal yang justru jarang ditelaah oleh banyak studi politik.
Politik transaksional yang salah satu bentuknya terwujud dalam jual beli suara pada masa pemilihan umum, menurut Ward, merupakan salah satu praktik yang khas dalam politik informal Indonesia, meski isu politik transaksional sendiri dapat juga ditemukan di negara-negara lain, termasuk Argentina dan India yang ia sebutkan dalam bukunya sebagai pembanding bagi Indonesia.
Ia mengungkapkan, biaya tinggi yang terkait dengan politik transaksional ini sangat perlu dibatasi karena akan menyebabkan praktik korupsi, politik oligarkis, dan tatanan pemerintahan yang lemah.
Ia menyimpulkan dibutuhkan suatu reformasi elektoral untuk mengubah incentive structure yang dihadapi oleh politisi dan menekan ongkos politik.
“Reformasi pemilu sangat dibutuhkan. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengubah open list system partai untuk pemilihan parlemen,” paparnya.
Contoh lain yang ia sebutkan adalah memperkuat pengawasan kampanye serta mengintegrasikan pemilihan parlemen dan pemilihan kepala daerah.
Dosen DPP, Mada Sukmajati, yang menjadi salah satu pembahas, memberikan apresiasi kepada Ward yang dirasa cukup dapat menangkap persoalan yang ada di dalam politik Indonesia melalui kajian mendalam yang ia lakukan.
“Buku yang ditulis oleh Ward ini memberikan gambaran terkait praktik demokrasi patronase di Indonesia. Ini buku yang tidak disusun secara instan, tetapi merupakan refleksi dari beberapa kajian,” tuturnya.
Selain buku Democracy for Sale, buku lain yang dibedah dalam acara ini adalah “Citizenship in Indonesia” yang disunting oleh Ward bersama Gerry van Klinken. Buku ini menawarkan berbagai perspektif mengenai citizenship yang menurut Gerry tidak bisa semata-mata dimaknai dalam konteks kewarganegaraan yang selama ini dikenal.
“Kami berusaha membangun kerangka baru tentang apa itu citizenship. Kalau cuma soal pegang KTP, itu tidak cukup,” terang Gerry.
Konsep citizenship yang dibangun berdasarkan pemahaman di dunia barat, menurutnya, tidak berlaku di Indonesia. Karenanya, diperlukan konsep baru yang dinamis di mana seorang citizen dapat menuntut hak, memiliki identitas, dan berpartisipasi dalam membangun lingkungannya.
Secara lebih spesifik, para kontributor buku ini menuliskan contoh-contoh kasus terkait pemahaman terhadap citizenship, salah satunya berupa kajuan terkait konflik kepemilikan lahan hutan oleh masyarakat adat. (Humas UGM/Gloria)