Menurut Pancasila dan UUD 1945 demokrasi ekonomi Indonesia terdiri dari unsur swasta, pemerintah dan koperasi. Ketiga pelaku ekonomi ini adalah para pencipta nilai, namun dalam perkembangannya swasta berkembang begitu besar dengan dua pelaku utama, yaitu swasta besar yang disebut sebagai konglomerasi dan modal asing.
Dr. Tanri Abeng, M.B.A, komisaris PT. Pertamina, mengatakan hal inilah yang berkembang di era Orde Baru karena UU Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebagai strategi pertumbuhan berbasis pada market driven sehingga cukup wajar bila pemberdayaan bertumpu pada pasar dan ini yang terus berkembang.
Demikian pula dengan BUMN dan asetnya hingga kini sudah lebih dari 50 persen dari PDB, bahkan telah berkontribusi pada APBN di atas 20 persen. Menurut Tanri Abeng, besarnya BUMN tidak diikuti dengan kondisi BUMR yang berisikan para pelaku UMKM dan koperasi.
“Dalam piramida terjadi ketimpangan sangat besar. Data 2012 UMKM kita masih 56,5 juta, hari ini sudah 71 juta UMKM, ini adalah pelaku ekonomi yang terpinggirkan. Kenapa terpinggirkan karena tidak memiliki skala karena terlalu small tidak memiliki akses perbankan. Tidak ekonomis karena terlalu kecil dan tidak memiliki akses pasar,” katanya, di UC, Senin (15/4) saat berbicara pada forum Executive Lecture Series yang diselenggarakan Magister Kebijakan Sekolah Pascasarjana UGM.
Menurut Tanri, jika BUMR tidak dikelola maka kesenjangan akan terus menerus berlangsung. Oleh karena itu, diperlukan membangun konsep BUMR mirip dengan BUMN dan BUMS.
Adapun BUMR yang dimaksud adalah korporatisasi dari UMKM per sektor sehingga semisal terdapat 10 ribu petani sawit yang masing-masing mengelola 10.000 meter maka mereka digabung dalam korporasi sehingga menjadi berskala, dan dengan kondisi semacam ini maka bisa meningkatkan produktivitasnya, kualitasnya dan memiliki bargaining position dengan industri.
Dalam hal ini, menurut Tanri, diperlukan keberpihakan pemerintah karena tanpa keberpihakan maka akan menjadi omong kosong berbicara mengenai keadilan sebab keadilan akan timbul bila ada keberpihakan.
“Karena kalau semuanya diserahkan pada mekanisme pasar maka yang kecil-kecil ini tidak akan dapat bersaing dan yang akan menentukan hidup ekonomi kita adalah yang besar-besar asing dan BUMN itu sendiri. Ini sangat tidak fair untuk bangsa kita,” ucapnya.
Berbicara soal BUMN Lembaga Pelaku Ekonomi Negara dan Politik Ekonomi Inklusi melalui BUMR, Tanri membayangkan jika semua sektor primari, seperti karet, kopi, kakao dan lain-lain dikelola secara korporatisasi maka produktivitas nasional akan meningkat. Jika produksi komoditas meningkat dengan kualitas sesuai dengan kebutuhan industri maka investasi luar akan masuk.
“Karena kita memiliki bahan baku yang siap dan tersedia, dan harganya tentu akan meningkat maka pertumbuhan pun akan meningkat,” katanya. (Humas UGM/ Agung)