Kekerasan berbasis ekstremisme agama masih menjadi ancaman nyata di berbagai negara, termasuk di antaranya di Kenya, Nigeria, dan Indonesia.
Persoalan ini diulas dalam seminar bertajuk “Securing the local: the role of non-state security groups (NSSGs) in combating against violent-extremism in Kenya, Nigeria and Indonesia” yang diselenggarakan Selasa (26/3) di Gedung Pusat UGM.
“Sampai hari ini ekstremisme masih menjadi persoalan yang mengkhawatirkan. Konfliknya bahkan menjadi lebih rumit dalam berbagai aspek,” tutur Laurens Bakker PhD, peneliti dari University of Amsterdam.
Seminar ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM bekerja sama dengan Amsterdam Institute for Social Science Research (AISSR) Universiteit van Amsterdam (UvA) sebagai upaya untuk memahami aktivitas tersebut dalam kaitannya dengan peran aktor negara dan non-negara di berbagai tingkatan yang berbeda.
Dalam sesi yang pertama, Laurens berbicara mengenai tema “Research Framework and Overview”. Ia memaparkan hasil dari proyek penelitian yang dilakukan sebagai sebuah eksplorasi komparatif multi-level dan multi-sided terhadap peran yang dimainkan oleh kelompok keamanan non-negara di Indonesia, Nigeria, dan Kenya, terutama dalam konteks ekstremisme agama.
“Kelompok ekstremis ini menampilkan diri sebagai pihak yang melakukan kebaikan, menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap masyarakat,” terangnya.
Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa popularitas suatu kelompok ekstremis biasanya terbatas pada area atau pada kelompok etnis tertentu, tidak mencakup masyarakat yang lebih luas di sebuah negara.
Peneliti lain dari University of Amsterdam, Karim, memaparkan penelitiannya yang secara spesifik membahas sekuritisasi oleh dua kelompok, yaitu Banser dan Jamaah Maiyah, dalam riset berjudul “Santri’s violent and nonviolent securitization way in combatting violent- extremism: The case of GP Ansor and JamaahMaiyah”.
“Saya melihat bahwa orang-orang bergabung pada kelompok-kelompok ini untuk alasan yang beraneka macam,” ujarnya.
Karim membandingkan berbagai narasi dari kedua kelompok tersebut, di antaranya berkaitan dengan prinsip utama yang dianut, sikap terhadap nilai Jihad, referensi gerakan, abstraksi intelektual, serta prinsip nasionalisme.
“Susunan keamanan Banser melalui sistem paramiliter dan pendekatan baru Jamaah Maiyah dan imaginasi formulasi keamanan parastate hanyalah dua contoh di antara banyak kelompok yang juga mengeksplorasi dimensi yang berbeda dari keamanan di dalam lingkup Bhineka Tunggal Ika,” jelasnya.
Selain kedua peneliti tersebut, seminar ini juga menghadirkan peneliti dari berbagai lembaga serta perguruan tinggi, di antaranya Dete Alijah, MA dari Yayasan Prasasti Perdamaian yang membicarakan tema “The role of women in deradicalization in Indonesia” serta peneliti UGM, M. NajibAzca, Ph.D., yang memaparkan penelitian berjudul “From Combatant to Democratic engagement: Narratives from Poso, Central Sulawesi”. (Humas UGM/Gloria)