Mantan Presiden Timor Leste sekaligus penerima Nobel Perdamaian tahun 1996, Ramos Horta, menjadi salah satu pembicara yang dihadirkan dalam seminar bertajuk Islam Indonesia di Pentas Global: Inspirasi Damai Nusantara untuk Dunia.
Diselenggarakan Jumat (25/1) di Balai Senat UGM, Horta akan berbicara mengenai Islam Indonesia sebagai kekuatan strategis dan damai di arena regional dan global.
“Kehadiran Ramos Horta yang merupakan salah satu penerima Nobel Perdamaian menjadi sesuatu yang penting. Kita bisa mendengar sudut pandang beliau mengenai proses demokrasi dan damai di Indonesia serta peran organisasi Islam di dalamnya,” ujar ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Muhammad Najib Azca, Selasa (24/1).
Ramos Horta mendapat anugerah Nobel Perdamaian bersama rekan senegaranya, Uskup Carlos Belo, berkat perannya dalam mewujudkan solusi yang damai serta adil terhadap konflik yang terjadi di Timor Timur. Usai menyelesaikan tugasnya sebagai presiden pada tahun 2012, Horta dipanggil oleh Sekjen PBB saat itu, Ban Ki Moon, untuk menjadi perwakilan khususnya di Guinea Bissau, di saat ia berhasil membawa negara tersebut melewati pemilu serta proses transisi kekuasaan yang damai.
Pada tahun 2014, atas permintaan Sekjen PBB ia dipilih untuk memimpin UN High Level Panel on Peace Operations yang mengawasi upaya perdamaian dan mediasi di berbagai belahan dunia. Rekam jejak Horta dalam kampanye bina damai dan nirkekerasan, menurut Najib, menjadikannya tokoh yang tepat untuk mengisahkan berbagai inspirasi damai dari Indonesia.
Seminar ini sendiri diselenggarakan merupakan bagian dari ikhtiar yang lebih besar untuk mempromosikan kontribusi dan pengalaman Islam di Indonesia dalam konteks pembangunan perdamaian dan demokrasi di kancah nasional, regional, dan internasional.
“Diskursus tentang kekerasan sangat menonjol disematkan dengan Islam karena apa yang terjadi di negara-negara timur tengah. Di tengah potret global tersebut kita ingin memunculkan wajah lain Islam yang berkarakter demokratis, damai, dan berkeadaban,” terang Najib.
Secara spesifik dalam seminar ini diulas peran dari dua organisasi masyarakat sipil Islam terbesar di Indonesia dan bahkan dunia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua ormas ini dinilai berperan penting dalam proses demokratisasi di Indonesia karena mengembangkan argumen-argumen keagamaan yang selaras dengan nilai-nilai demokrasi dan penguatan masyarakat sipil.
Selain itu, kedua ormas Islam ini juga aktif berkontribusi dalam proses pembangunan perdamaian (peacebuilding) di kancah regional dan internasional. Peran NU dan Muhammadiyah menurut Najib telah mendapat pengakuan hingga di tingkat internasional, hingga kemudian muncul wacana untuk menominasikan keduanya untuk hadiah Nobel Perdamaian.
“Di tengah konflik dan kekacauan yang melanda dunia terutama di negara-negara Muslim di Timur Tengah, Islam di Indonesia berjalan beriringan bersama pembangunan demokrasi dan perdamaian. Salah satu faktor utama di balik pencapaian gemilang ini adalah peranan aktif organisasi-organisasi masyarakat sipil Islam di Indonesia,” imbuh Najib yang juga terlibat dalam penelitian yang menghasilkan buku “Dua Menyemai Damai: Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan NU dalam Perdamaian dan Demokrasi”.
Selain Ramos Horta, pembicara lain yang dihadirkan di antaranya ulama dan tokoh kebangsaan Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, KH. Yahya Cholil Staquf, Prof. Dr. Azyumardi Azra, serta Prof. Dr. Mark Woodward. (Humas UGM/Gloria)