Oleh dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH
Pandemi COVID-19 membuka mata dunia terhadap ketimpangan kekuasaan dalam kesehatan global. Ketimpangan tersebut antara lain berdampak pada ketidakadilan dalam akses terhadap vaksin, diagnostik dan terapi antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Ketimpangan akses dan kekuasaan dalam kesehatan global merupakan warisan sejarah dari kedokteran kolonial yang dirancang untuk memperlancar eksploitasi wilayah jajahan. Meningkatnya peran Indonesia dalam berbagai forum kesehatan global, setidaknya dalam satu dekade terakhir, membawa implikasi tanggung jawab besar bagi Indonesia untuk mewujudkan pembangunan kesehatan global yang lebih berkeadilan. Untuk itu Indonesia harus menjadi role model dalam dekolonisasi kesehatan dengan mendorong keadilan kesehatan, baik di dalam maupun antarnegara, yang selama ini menjadi masalah besar dalam penanggulangan pandemi.
Presidensi G20
Dirjen Badan Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada pertemuan dengan Presiden Republik Indonesia di pertengahan tahun 2022 telah menyampaikan apresiasi kepada Indonesia dalam kepemimpinannya di G20. Peran kepemimpinan G20 Indonesia dalam kesehatan global merupakan bagian dari perjalanan Indonesia meniti tangga kepemimpinan kesehatan global. Presiden RI periode 2004-2014, Susilo Bambang Yudhoyono, di tahun 2012 terpilih sebagai salah satu Ketua Bersama (co-chairs) dalam Panel Tingkat Tinggi (High-Level Panel of Eminent Persons) untuk agenda pembangunan pasca-2015 yang banyak membahas isu kesehatan global. Menteri kesehatan RI 2012-2014, Nafsiah Mboi, pada tahun 2013 terpilih sebagai Chair of the Board of the Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria (GFATM). Indonesia juga dianggap berhasil memimpin kelompok pengarah (steering group) Global Health Security Agenda (GHSA) pada tahun 2016, dan sebagai tuan rumah pertemuan GHSA tingkat menteri yang kelima di Nusa Dua, Bali pada tahun 2018. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno LP Marsudi, di tahun 2021 terpilih menjadi salah satu ketua bersama (co-chair) dari program kerja sama vaksin multilateral COVAX Advance Market Commitment (AMC) Engagement Group (EG). Tahun ini, Retno Marsudi kembali terpilih menjadi Ketua Bersama COVAX AMC Engagement Group periode Januari-Desember 2022.
Indonesia sebagai negara berkembang pertama yang memegang presidensi G20 memiliki peluang besar untuk memperjuangkan kepentingan negara berkembang dalam agenda kesehatan global melalui forum G20. Dalam hal ini Indonesia berpeluang untuk berkontribusi dalam membangun dialog yang lebih setara antara negara maju dan negara berkembang dalam forum G20. Urgensi kesetaraan tersebut terlihat nyata dengan melebarnya disparitas antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang dalam kemajuan upaya penanggulangan pandemi COVID-19, terutama terkait akses yang berkeadilan terhadap teknologi vaksin, diagnostik, dan terapi mengingat keterbatasan kapasitas penelitian, pengembangan, dan produksi di negara-negara berkembang. Presidensi Indonesia di G20 berupaya berkontribusi bagi kesehatan global melalui penguatan dan restrukturisasi tata kelola dan arsitektur global pasca pandemi dengan menggarap tiga isu prioritas: (1) membangun resiliensi sistem kesehatan global; (2) harmonisasi standar protokol kesehatan global; (3) ekspansi global manufacturing hub dan research hub untuk untuk mendukung upaya pencegahan, kesiapan dan respon. Selain isu-isu prioritas tersebut, Presidensi Indonesia di G20 juga mengusung kembali beberapa isu kesehatan global lain yang telah diprioritaskan dalam presidensi-presidensi sebelumnya, antara lain AMR, One Health dan Tuberkulosis.
Peningkatan kepemimpinan strategis Indonesia dalam kesehatan global ke depan akan memerlukan penguatan yang lebih mendasar. Budaya kolonial dalam konteks kesehatan global masih sangat dominan dan bermanifestasi dalam pendekatan yang cenderung bias pada budaya barat, etnosentris, dan neoliberal. Dengan demikian sesungguhnya diperlukan kepemimpinan yang mampu mendorong upaya dekolonisasi kesehatan global. Dekolonisasi Kesehatan global memerlukan kepemimpinan yang mampu: (1) membangun konsensus global untuk mengubah praktik-praktik yang melanggengkan hierarki kekuasaan yang timpang; (2) mendorong tata kelola kesehatan global yang multipolar dan memperkuat WHO; (3) membentuk paradigma bahwa negara berkembang dapat mengatasi masalah kesehatannya sendiri melalui pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan. Untuk itu secara praktis Indonesia harus menjadi role model dalam menegakkan keadilan kesehatan, baik di dalam maupun antarnegara, yang selama ini menjadi masalah besar dalam penanggulangan pandemi.
Peran Akademisi
Tantangan kepemimpinan strategis untuk dekolonisasi Kesehatan global sangat besar, untuk itu inisiatif-inisiatif kepemimpinan Indonesia memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi. UGM telah berupaya untuk turut mengawal kepemimpinan G20 Indonesia dalam kesehatan global. Beberapa dosen FK-KMK UGM tergabung sebagai pakar nasional (national expert) yang turut mengawal G20 Health Working Group (HWG) yang dipimpin oleh Kementerian Kesehatan ataupun melalui S20 engagement group yang dipimpin oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). FK-KMK UGM juga telah menginisiasi beberapa forum diskusi terkait kesehatan global untuk menghasilkan masukan bagi G20 HWG ataupun S20 engagement group. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM telah menyelenggarakan seminar “Recover Together, Recover Stronger: G20 dan Agenda Strategis Indonesia” di bulan Maret 2022 yang mengupas isu-isu terkait kepemimpinan Indonesia pada G20 tahun 2022, termasuk dalam isu kesehatan global. Fisipol UGM juga telah menghasilkan buku kajian “G20 di Tengah Perubahan Besar: Momentum Kepemimpinan Global Indonesia?” yang juga memuat kajian-kajian strategis terkait isu kesehatan global.
UGM dan perguruan-perguruan tinggi lain di Indonesia ke depan perlu mengantisipasi semakin meningkatnya harapan terhadap peran kepemimpinan Indonesia dalam kesehatan global melalui pengawalan yang lebih sistematis dan terstruktur. Dari sisi pendidikan, perguruan tinggi perlu berkontribusi dalam memperkuat kapasitas untuk penguasaan isu-isu strategis kesehatan global, diplomasi kesehatan dan khususnya dekolonisasi kesehatan global. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat muatan-muatan kesehatan global dalam program-program studi terkait, ataupun mengembangkan program-program pelatihan yang relevan. Dalam program studi ataupun pelatihan yang relevan tersebut perguruan tinggi perlu mengembangkan kurikulum yang lebih dalam, kritis, dan mengakar pada perspektif historis, anti kolonial, dan perspektif politik. Dari sisi penelitian, perguruan tinggi perlu meningkatkan kajian-kajian terhadap isu-isu strategis kesehatan global, kajian-kajian yang lebih mendalam untuk mendorong dekolonisasi kesehatan. Dari sisi pengabdian, perguruan tinggi perlu menjembatani agar hasil-hasil kajian kesehatan global tersebut dapat dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan melalui berbagai upaya knowledge translation, termasuk menyelenggarakan forum/media untuk memberikan ruang kajian dan diskusi yang kritis untuk mendukung upaya dekolonisasi kesehatan global. UGM sebagai universitas kebangsaan bersama-sama dengan perguruan-perguruan tinggi lain di Indonesia perlu hadir mengawal peran kepemimpinan strategis Indonesia dalam menegakkan keadilan kesehatan di dunia.