Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM menyelenggarakan talkshow bertajuk “Pemilu di Era Digital: Peluang dan Tantangannya” pada Sabtu (20/10).
Digelar di Selasar Barat FISIPOL, talkshow ini menghadirkan Direktur Perencanaan Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Aria Bima, serta Koordinator Jubir Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak.
Dekan FISIPOL UGM, Dr. Erwan Agus Purwanto, menuturkan talkshow ini menjadi wujud peran serta kampus dalam memberikan edukasi politik sekaligus menjadi bukti bahwa kampus tidak anti-politik.
“Keterlibatan aktif perlu didorong karena nampaknya selama ini ada asumsi bahwa universitas tidak boleh ngomong politik. Melalui acara ini kita bisa melihat apa saja agenda yang ditawarkan, dan mahasiswa boleh ikut terlibat dalam mendorong dan menyuarakan aspirasi terkait agenda apa yang penting bagi bangsa kita,” paparnya.
Selain sivitas akademika UGM, acara ini juga dihadiri oleh para siswa SMA. Dengan mengundang para calon pemilih pemula, talkshow ini dapat memberikan pendidikan politik bagi anak muda untuk terlibat aktif dalam menciptakan suasana politik yang kondusif.
“Di era digital ini, saya mengharapkan mahasiswa terlibat dalam aktivisme, tapi jangan terperosok dalam berbagai persoalan, tidak ikut menyebarkan hoaks. Dengan pemilu yang berkualitas, demokrasi kita juga menjadi semakin berkualitas,” kata Erwan.
Senada dengan penjelasan tersebut, Ketua Komisi Pemilihan Umum RI, Arief Budiman, mengungkapkan bahwa masing-masing kubu peserta pemilu akan memperebutkan pemilih di kalangan milenial yang angkanya menjapai 79 juta.
Untuk itu, kampanye melalui media daring dan media sosial menjadi salah satu sarana utama yang digunakan karena pemilih milenial lebih banyak mendapat informasi melalui kanal-kanal tersebut. Arief pun menyerukan kepada pemilih muda untuk bersama melawan politik uang, kampanye hitam, serta penggunaan isu-isu yang memecah belah bangsa.
“Jangan pernah lakukan lagi money politics, jangan lagi sebar hoaks, dan jangan lagi gunakan isu-isu SARA yang negatif dan mampu menimbulkan perpecahan di antara kita,” ucapnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan para pemilih muda untuk memastikan bahwa mereka mempunyai hak pilih, memastikan bahwa mereka telah terdaftar di dalam daftar pemilih, dan yang tidak kalah penting, memastikan bahwa mereka menggunakan hak pilih mereka di tahun mendatang.
Terkait maraknya penyebaran berita bohong yang digunakan untuk kampanye politik, Aria Bima mengutarakan bahwa tindakan ini tidak etis dan tidak masuk akal untuk digunakan karena merusak pondasi kebangsaan.
Ia tidak memungkiri bahwa di tengah perubahan teknologi yang begitu cepat, sering kali regulasi terlambat untuk mengejar kemajuan tersebut sehingga banyak hal yang belum bisa diatur. Karena itu, masyarakat menurutnya perlu terlebih dahulu membangun kesadaran penggunaan media secara bijak.
“Potensi disintegrasi dari persoalan SARA tidak sekadar di ruang media sosial tapi juga di dunia nyata, dan dampaknya misalnya dari kasus pilkada ternyata menimbulkan luka batin yang belum selesai hingga saat ini. Maka kita harus bisa membangun kesadaran karena regulasi belum bisa sepenuhnya mengatur itu,” ucapnya.
Sementara itu, Dahnil Anzar menuturkan bahwa perubahan yang membawa hal-hal yang berbeda tidak seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang menakutkan. Kaum milenial, ujarnya, seharusnya dapat menghadirkan akal sehat dan akal baik di ranah media sosial.
“Milenial bukan tentang sepatu yang Anda pakai atau motor yang Anda kendarai, tetapi tentang isi kepala dan isi hati,” tutur Dahnil. (Humas UGM/Gloria)