“Kami harap bantuan yang datang tidak hanya finansial semata, tetapi juga pendampingan moral pasca bencana juga,” tutur Resmi, Ketua RT 19, tempat Posko Pengungsian 5 di Desa Lolu, Kecamatan Biromaru, Kabupaten SIgi.
Penuturan tersebut Resmi sampaikan ketika menerima kunjungan dari perwakilan UGM dan Kagama Care pada Sabtu (20/10) sore di posko yang ditempatinya. Desa Lolu merupakan salah satu desa terdampak Gempa Bumi yang melanda Palu dan sekitarnya, Gempa dengan kekuatan 7,4 Magnitudo yang disusul tsunami dan likuifaksi ini telah meluluhlantahkan tiga kota/kabupaten, yakni Palu, Donggala, serta Sigi.
Resmi menyatakan desanya terpilih menjadi lokasi posko pengungsian karena kondisi tanahnya dinyatakan lebih stabil jika dibandingkan daerah sekitarnya. “Desa Lolu walaupun terkena dampak gempa, namun tidak seperti daerah utaranya, yakni kelurahan Petobo yang terkena Likuifaksi,” ungkapnya.
Desa Petobo mengalami dampak yang parah akibat Likuifaksi. Rumah-rumah dan fasilitas publik lain di desa ini tergulung oleh tanah karena proses pencairan tanah ini. Sampai saat ini ribuan orang masih dinyatakan hilang di daerah ini karena tertimbun tanah. Sementara Desa Lolu hanya dilalui gempa yang mengakibatkan bangunan rumah serta jalan-jalan retak. Oleh karena itu, ketika gempa telah berlalu, lokasi ini dipilih sebagai lokasi pengungsian.
Sejak seminggu lalu, relawan mahasiswa UGM telah datang ke posko ini. Tim ini terdiri atas mahasiswa dari berbagai kluster di UGM yang terkumpul melalui kerja sama Badan Eksekutif Mahasiswa dan Forum Komunikasi Mahasiswa UGM. Pengiriman tim relawan mahasiswa ini merupakan yang kedua kalinya, setelah pengiriman tim medis pada awal Oktober.
Tim ini ditempatkan di posko ini setelah dilakukan assessment yang dilakukan oleh Kagama Care Sulawesi Tengah sebelumnya. Tujuan dikirimnya tim ini adalah untuk lebih mengintensifkan distribusi bantuan logistik. “Bantuan kita telah kita salurkan pelan-pelan, dengan adanya mahasiswa diharap lebih mudah dan bisa mempercepat pemulihan,” ujar Sandiaga Yudha, perwakilan Kagama Care.
Akan tetapi, untuk kedepannya, Yudha berharap keberadaan mahasiswa bisa memberi bantuan pada korban tidak hanya berupa logistik. “Seperti yang telah dilakukan di Lombok, kita akhirnya juga bisa memberi bantuan berupa pendampingan pembuatan program wisata di sana,” ungkapnya.
Dendy Dyandra Putra, salah satu relawan mahasiswa UGM, menyatakan setelah seminggu berada di lokasi, timnya telah merencanakan beberapa program selain distribusi logistik, yakni Sekolah Bahagia (untuk pembangunan psiko-sosial anak) serta pembuatan MCK. “Sejauh ini, distribusi logistik dan Sekolah Bahagia telah berjalan lancar, hanya pembuatan MCK yang masih dalam proses,” tuturnya.
Rasa terimakasih disampaikan oleh Koordinator Posko Pengungsian 5, Fatkhurrahman, yang juga hadir. Ia mengapresiasi kehadiran relawan mahasiswa yang telah membantu mendampingi relawan pemuda yang berasal dari daerah setempat. “Pendampingan dan program yang dibawa sangat membantu. Sistem kerja juga menjadi lebih mudah,” sebutnya.
Fathur berharap program ini dapat terus berlanjut hingga kondisi daerahnya benar-benar pulih. Kondisi yang ia maksud tidak hanya secara material saja, namun pemulihan moral psikologis masyarakat juga penting.
“Satu dua bulan mungkin secara material kami bisa pulih, namun moral dan psikologis tidak bisa secepat itu. Lapangan pekerjaan kami banyak yang hilang, konsumen juga banyak yang hilang. Bantuan pendampingan untuk meningkatkan semangat dan etos kerja sangat kami perlukan untuk ke depannya,” paparnya.
Hal itu direspons oleh drg. Ika Dewi Ana, M.Kes., Ph.D., Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UGM. Ia menyatakan bahwa UGM bersama Kagama Care akan terus mendampingi untuk bahu-membahu membangun kembali daerah ini. “Agar tujuan tersebut tercapai, kami memohon segala masukannya tentang apa yang bisa kami bantu di sini,” ujarnya.
Ika menyatakan bahwa program yang direncanakan UGM tidak dilaksanakan dalam waktu singkat. “Kami terinspirasi dengan Jepang yang juga memiliki wilayah yang rawan bencana. Tugas kami adalah membangun kesadaran pada anak-cucu kita nanti terhadap bencana seperti Jepang,” tuturnya.
Direktur Pengabdian kepada Masyarakat UGM, Prof. Ir. Irfan Dwidya Prijambada, M.Eng., Ph.D., menambahkan UGM berencana membangun Hunian Sementara Menuju Tetap (Huntrap) seperti yang telah dilakukan di Lombok. Ia menjelaskan bahwa hunian ini terbangun dari baja ringan berukuran 3×6 meter. Sementara waktu pembangunan hanya perlu dua hari, namun bangunan bisa tahan selama 15 tahun.
“Tim saat ini sedang kami siapkan. Desember nanti kami akan mulai turun. Mengingat saat ini sudah hampir memasuki musim hujan, hunian ini paling cocok untuk korban bencana,” ujarnya.
Irfan menyatakan tim pembangun Huntrap ini tidak hanya sebatas membangun saja. Namun, mereka juga mengajak warga untuk berlatih membangun bersama. “Oleh karena itu, kami berharap dukungan dan kerja samanya,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)