Aktivitas filantropi sudah tampak sejak lama, namun beberapa tahun terakhir baru mendapatkan perhatian. Bahkan, konsep filantropi berkembang dan terimplementasi pada kegiatan konkret untuk merespons berbagai masalah sosial, dengan tujuan yang terorganisir, terintegrasi, dan terpola. Filantropi diartikan sebagai karya kedermawanan yang secara tulus dan ikhlas terwujud dalam perbuatan nyata kepada sesama. Peranan filantropi sejak lama telah diaplikasikan dalam sektor kesehatan, tak terkecuali di Indonesia
Rumah Sakit Panti Rapih (RSPR) Yogyakarta merupakan salah satu rumah sakit yang awal berdirinya berasal dari kegiatan filantropi. Sebagai rumah sakit keagamaan non-profit, berdiri sejak 92 tahun silam dan memiliki tonggak perjalanan sejarah telah melayani pasien hingga sekarang baik yang menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan non-JKN.
Berdasarkan hasil penelitian mahasiswa Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, dr. Jodi Visnu, MPH., nilai filantropi tidak pernah hilang dalam pelayanan RS Panti Rapih sebagai rumah sakit non-profit keagamaan, akan tetapi bertahan dalam semangat pelayanan dengan didukung oleh stabilitas keuangan dengan mempertahankan good governance. Penurunan jumlah biarawati Carolus Borromeus (CB) berkebangsaan Belanda pada perjalanan RSPR telah berpengaruh terhadap penerimaan donasi filantropi dari berbagai pihak. “Peran RS Panti Rapih yang sedari awal menjadi penerima donasi filantropi, kini sejatinya bertransformasi menjadi pemberi donasi layanan kesehatan kepada mereka yang kurang mampu,” kata Jodi Visnu dalam ujian promosi doktor di FKKMK UGM, Senin (26/9).
Dalam riset disertasinya yang berjudul Peranan Filantropi dalam Karya Karitatif Rumah Sakit Non-profit Keagamaan untuk Mendukung Keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional, Studi Kasus Eksplanatori di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, Jodi memaparkan Rumah sakit non-profit berbasis keagamaan dapat bertahan dalam perkembangan zaman dengan cara memelihara rantai donasi. Hubungan baik dengan donatur yang terus dibina, menjadikan RS Panti Rapih tetap teguh memberikan pelayanan hingga lebih dari 92 tahun tanpa memandang latar belakang ekonomi pasien. “Pada hakikatnya, rumah sakit non-profit keagamaan adalah tempat layanan kesehatan berlandaskan hubungan cinta dan kasih sayang terhadap sesama, yang sewajarnya mendapatkan berbagai dukungan filantropi. Di satu sisi rumah sakit membutuhkan dukungan tersebut, di sisi lain akan selalu ditemukan kebaikan hati umat untuk memberikan sumbangan,” ujarnya.
Kesanggupan rumah sakit dalam mempertahankan stabilitas keuangan dengan sistematika business-like organization, didukung oleh nama baik dan peleburan semangat filantropi menjadi karya pelayanan spiritual oleh segenap karyawan termasuk juga dokter dan perawat, telah menjaga kesinambungan RSPR di era JKN. Menurutnya rumah sakit non-profit keagamaan dapat tetap mempertahankan visi-misi-nilai religius yang dianutnya untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dari berbagai latar belakang ekonomi. “Berbagai pemasukan, salah satunya via donasi filantropi, dapat bermanfaat untuk memaksimalkan kemampuan rumah sakit dalam membantu pasien kurang mampu, maka pola pikir social entrepreneurship selayaknya diterapkan pada rumah sakit misioner,” jelasnya.
Jodi menuturkan bahwa RS Panti Rapih hingga tahun 1992, RSPR rutin menerima bantuan filantropi dari donatur. Setelahnya, penurunan donasi terjadi karena stabilitas finansial RS Panti Rapih dan transformasi ke arah pemberi donasi bagi masyarakat kaum marginal. Di era JKN sekarang ini, semangat filantropi diperkuat oleh keterlibatan pemerintah Indonesia dalam melayani pasien. Meski beberapa kasus over cost terjadi dan selisih negatif pembiayaan tidak dapat dihindari, namun RS Panti Rapih tetap menjunjung nilai untuk hadir bagi pasien kurang mampu dengan mempertahankan rantai donasi jejaring.
Penulis: Gusti Grehenson