Pusat Studi Bencana dan Pusat Studi Kebudayaan UGM melaksanakan Among-Among Budaya Pengetan Rebo Wekasan pada Selasa (20/9). Rebo Wekasan merupakan Rabu terakhir di bulan Safar yang mana di hari itu sang pencipta memberikan berbagai macam bahaya. Acara peringatan ini sebagai salah satu upaya untuk menjaga dan melestarikan tradisi yang bernilai luhur.
“Para leluhur kita mengingatkan bahwa pada hari itu akan diturunkan marabahaya yang jumlahnya ratusan ribu. Untuk itu, kita sepatutnya uri uri semuanya dalam bentuk talim, sedekah, dan doa bersama sebagai wujud rasa syukur kita,” jelas Dr. Muhammad Anggri Setiawan, M.Si., Kepala Pusat Studi Bencana.
Pengetan Rebo Wekasan yang dilaksanakan di Balairung pada sore hari dimulai dengan Among-Among Budaya dengan melantunkan tembang Asmaradana dan Maskumambang. Tembang Asmaradana sebagai tembang yang menyampaikan mengenai kebencanaan dan tembang Maskumambang menyampaikan mengenai permohonan kepada Sang Pencipta.
Anggri mengungkapkan Pengetan Rebo Wekasan ini bukan merupakan bulan atau hari pembawa sial. Tetapi di momen seperti ini sama halnya seperti hari peringatan air sedunia dan hari peringatan lainnya sehingga sebagai ilmuwan seharusnya lebih bisa memperkaya.
Ratna menjelaskan Pengetan Rebo Wekasan ini juga merupakan salah satu bentuk kepedulian kepada lingkungan, pada diri, dan sesama untuk mewujudkan Memayu Hayuning Bawono Kapurba Dening Manungsa. Menurutnya, yang paling penting adalah rasa syukur harus ditumbuhkan terus supaya menjadi sesuatu kekuatan jika tanpa rasa syukur maka akan sangat lemah.
“Tanpa rasa syukur kita akan sangat lemah dan ketika bersyukur energi itu akan bertumbuh,” imbuh Ratna yang juga Kepala Pusat Studi Kebudayaan.
Acara diadakan secara singkat, sederhana tapi penuh makna. Adanya kolaborasi Pusat Studi Bencana dengan Pusat Studi Kebudayaan menciptakan inovasi pendekatan ilmu yang menarik.
Penulis: Khansa