Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) bersama UGM menyelenggarakan ‘Penawaran sebagai Mitra Produk Unggulan Unit Global Gotong Royong (G2R) Tetrapreneur’ di Ruang Rapat Nyi Ageng Sareng 3, Kantor BPPM DIY. Acara yang berlangsung Selasa (14/8) itu merupakan tahap kedua dari program G2R Tetrapeneur yang dicanangkan BPPM dengan bantuan dari Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Rika Fatimah, P.L., S.T., M.Sc., Ph.D.
Program tersebut merupakan konsep dari Rika yang diadaptasi dari Program Saemaul Undong yang diinisiasi oleh Pemerintah Korea Selatan. Ia pernah diminta oleh Fakultas Filsafat untuk meneliti sebab kegagalan penerapan Saemaul Undong untuk memajukan perekonomian daerah pedesaan di Indonesia.
Kala itu, ia melihat kesamaan konsep itu dengan konsep gotong royong yang sudah dikenal di Indonesia. Sejak saat itu, Rika berpikir kenapa Indonesia perlu meniru konsep yang sebenarnya sudah dikenalnya dari negara lain.
Hal lain yang mendorong Rika adalah hadirnya fenomena global village, ketika dunia dapat diakses dengan sederhana seperti desa dengan perkembangan teknologi terkini. Ia melihat fenomena ini bukanlah sebuah ancaman, melainkan peluang. “Polanya mudah, buat saja sesuatu yang unik khas dari desa maka akan laku dengan sendirinya,” tuturnya.
Sebenarnya, selain motif tadi, Rika mempunyai cita-cita tersendiri mengentaskan kemiskinan di Indonesia. “Oleh karena itu, saya terpikir untuk menciptakan konsep G2R Tentrapreneur,”ungkapnya.
Konsep ini merupakan sebuah gerakan inovasi desa berbasis empat pilar (tetra). Tetra 1 yaitu rantai pasokan bisnis mulai dari hulu ke hilir. Selanjutnya, Tetra 2 adalah ketersediaan pasar non-competition based hingga competition based sebagai sarana pertukaran nilai produk.
Rita menyebutkan tahap vital untuk keberlanjutan program ini ada di Tetra 2. “Pada tahap Tetra 1 warga sudah pintar dalam menyediakan produknya, namun hal itu akan sia-sia tanpa pasar,” ujarnya. Ia juga menambahkan kegagalan di Tetra 2 akan menyebabkan program dmulai lagi dari awal.
Jika Tetra 2 sudah terlewati maka baru bisa melangkah ke Tetra 3, yaitu peningkatan kualitas produk melalui SDM yang berkualitas pula, sistem yang terkoordinasi, serta pengembangan diri. Puncaknya pada Tetra 4, yakni terbentuknya nilai dan aspirasi merek.
“Untuk mencapai tahapan terakhir ini, semua indikator dari tahap sebelumnya harus terpenuhi,” tegas Rika.
Kunci dari keberhasilan program ini adalah integrasi nilai gotong royong masyarakat dari desa yang dibina. “Walaupun masyarakat pedesaan di Indonesia sudah mengaplikasikan nilai gotong royong. Namun, hal itu tidak terjadi jika menyangkut soal ekonomi,” ujarnya.
Sejauh ini, Program G2R Tentrapreneur ini sudah diterapkan pada dua desa, yakni Girirejo dan Wukirsari, Imogiri, Bantul. Kedua desa sudah menyelesaikan Tentra 1 dengan dua hasil produk dari masing-masing desa.
Desa Girirejo telah berhasil memproduksi ‘Wedang Uwuh Arum Sari’. Produk ini berbeda dengan wedang uwuh pada umumnya, dengan penambahan tanaman khas desa, yakni Kapulogo. Produk lain yang telah diproduksi yakni ‘Ceriping Pisang’. Hal yang menarik dari cemilan ini adalah semua bahan dibudidayakan secara organik, tanpa bahan kimia satupun selama pengolahannya. Dengan demikian, cemilan ini aman dan sehat untuk dikonsumsi
Kemudian, Desa Wukirsari juga tidak kalah dengan produk ‘Criping Gadung’. Konsep yang dibawa dari cemilan ini sama dengan ‘Ceriping Pisang’ Girirejo, yakni diproduksi secara organik. Produk lain yang ditawarkan dari desa ini berbeda dengan produk-produk sebelumnya, yakni ‘Edu Homestay’. Jika sebelumnya berupa makanan dan minuman, ‘Edu Homestay’ berupa jasa penginapan dengan paket edukasi, dari membatik, outbond¸ religi dan budaya setempat, serta kerajinan tatah sungging.
Kedua desa tersebut, menurut Rika, sudah lulus dalam Tentra 1. Hal itu karena masing-masing sudah dapat menyediakan produk bisnis dengan mengintregasikan gotong royong dari warga setempat. Sekarang, lanjut Rika, saatnya mereka memasuki Tentra 2. “Oleh karenanya, acara ini diadakan untuk menjalin lingkaran kemitraan untuk memasarkan produk mereka,” ungkapnya.
Hasilnya, beberapa instansi sudah memberikan kesediaannya untuk menjadi mitra dalam program ini. Instansi tersebut seperti Harley Davidson Club Indonesia Pengcab. Bantul, Yayasan Silaturahmi & Sosial Cendekia, Badan Koordinasi Organisasi Wanita DIY, Jogja City Mall, Hotel Royal Ambarukmo, Pamela Grup, Asossiasi Agen Tour dan Travel Indonesia, serta Parsley.
Rika menuturkan bahwa program ini juga sudah diakui secara internasional. Hal itu dibuktikan dengan undangan yang diterimanya untuk mempresentasikan progam ini dalam ‘2018 World Local Government Culture Tourism Festival – Saemaul International Forum’ di Korea Selatan pada September mendatang.
“Semoga program ini dapat menuai hasil terbaiknya. Dengan demikian, perekonomian masyarakat pedesaan di Indonesia bisa terangkat secara mandiri oleh masyarakatnya sendiri,” harapnya. (Humas UGM/Hakam)