Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menghendaki agar Unit Usaha Syariah (UUS) yang secara korporasi masih berada dalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional (BUK), apabila telah berada dalam kondisi atau jangka waktu tertentu wajib bertransformasi menjadi Bank Umum Syariah (BUS).
Meski demikian, transformasi kelembagaan Unit Usaha Syariah Bank Umum Konvensional ke dalam Bank Umum Syariah yang salah satunya dilakukan melalui model akuisisi belum sepenuhnya mampu mewujudkan cita-cita ideal yang menjadi maksud dan tujuan dilembagakannya pemisahan dalam UU tersebut.
Hal ini disimpulkan oleh dosen Hukum Islam di Fakultas Hukum UGM, Khotibul Umam, yang mengikuti ujian terbuka program doktor pada Rabu (11/7) lalu.
“Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan dan proses transformasi Unit Usaha Syariah Bank Umum Konvensional ke dalam Bank Umum Syariah melalui pemisahan dalam bentuk Acquisition Model, kesesuaian pertimbangan dan proses dimaksud terhadap prinsip syariah, dan implikasi lahirnya BUS dalam konstelasi perusahaan kelompok,” paparnya.
Hasil penelitian yang ia lakukan menunjukkan bahwa pertimbangan dan proses transformasi UUS BUK ke dalam BUS melalui pemisahan dalam model akuisisi secara makro berupa adanya keinginan dari pemerintah untuk memisahkan tata kelola syariah secara kelembagaan dengan tata kelola perbankan konvensional, guna mencapai tujuan akhir berupa peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan syariah. Sementara itu, pertimbangan utama secara mikro dari masing-masing BUK yang melakukan transformasi UUS adalah dalam rangka mencapai fokus dan independensi.
Pertimbangan dan proses tersebut, menurutnya, telah memenuhi prinsip syariah yang tertuang dalam Fatwa DSN-MUI tentang pengalihan utang dan secara negatif tidak mengandung unsur riba, maysir, gharar, haram, dan bathil.
Lebih lanjut ia menjelaskan, BUS hasil transformasi UUS BUK dalam konstelasi perusahaan kelompok berimplikasi pada adanya kemandirian secara yuridis dan ketidakmandirian secara ekonomis yang terwujud dalam bentuk pengendalian BUK terhadap BUS selaku induk dan anak perusahaan dalam aspek permodalan, jaringan kantor, sumber daya manusia, dan sistem teknologi informasi, serta adanya kemandirian relatif bagi BUS tersebut dalam memberikan produk dan aktivitas perbankan sesuai dengan prinsip syariah.
“Norma pemisahan yang pada hakikatnya ditujukan untuk mengakhiri keberadaan UUS dalam sistem hukum perbankan Indonesia menjadi kurang optimal dengan masih tingginya pengendalian BUK terhadap BUS sebagai konsekuensi adanya sinergi dalam berbagai bidang,” kata Khotibul.
Guna mencapai tujuan ideal berupa kelembagaan BUS yang fokus dan independen, ia memberikan saran bagi BUK dan BUS hasil transformasi untuk mengakhiri dalam jangka waktu 10 tahun keterlibatan sumber daya manusia BUK ke dalam aktivitas BUS dan penggunaan jaringan kantor BUK untuk aktivitas syariah. Hal ini, menurutnya, diperlukan untuk meminimalkan pengendalian BUK terhadap BUS dalam aktivitas sehari-hari yang berpotensi menyebabkan rasa kurang percaya masyarakat terhadap bank syariah. (Humas UGM/Gloria)