Meski terkadang turut diolah menjadi masakan, kaki atau ceker ayam mungkin merupakan salah satu bagian ayam yang lebih banyak dibuang begitu saja. Siapa sangka ceker yang selama ini kita anggap kurang menarik ternyata memiliki manfaat yang sangat besar di bidang medis.
Potensi ini dilirik oleh tiga mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Aryo Anfasa Rais, Mellya Permatasari, dan Yudith Violetta Pamulang. Ketiga mahasiawa ini berhasil mengolah ceker menjadi obat patah tulang yang diberi nama Cerra.
“Proses kesembuhan fraktur sendiri merupakan proses yang kompleks, membutuhkan waktu lama dan melibatkan matriks protein serta deposit mineral untuk membantu proses regenerasi dan pertumbuhan tulang. Material tersebut dapat dengan mudah kita temukan dalam ceker yang notabene adalah hasil samping dari rumah pemotongan ayam di Indonesia dengan jumlah yang melimpah tiap tahunnya,” ungkap Yudith.
Ia menuturkan, menurut WHO kasus patah tulang tiap tahunnya baik di Indonesia maupun di dunia memiliki angka yang cukup tinggi, yaitu mencapai 13 juta kasus pada tahun 2008 dan terus meningkat hingga tahun 2010 menjadi 21 juta kasus. Di Indonesia, jumlah kasus mencapai lebih dari 45 ribu setiap tahunnya.
Fakta ini mendorong para mahasiswa untuk mencoba menemukan produk medis yang memiliki kandungan zat-zat yang bermanfaat bagi penanganan para pasien, dan mereka menemukan kandungan tersebut dalam ceker ayam.
Ceker ayam yang digunakan terdiri dari otot, kulit, dan tulang, yang oleh masyarakat biasanya dimanfaatkan sebagai bahan olahan pangan. Setelah dikaji lebih dalam, ceker memiliki kandungan tinggi protein, kolagen, dan tulang rawan yang tersusun atas glukosamin, kolagen, dan kondroitin sulfat A, B, dan C.
Selain itu, tulang ceker sendiri merupakan tempat penyimpanan mineral kalsium dalam hewan, dan sekitar 99% kalsium diendapkan di tulang. Kandungan lengkap tersebut merupakan prekusor dalam sintetis perbaikan tulang rawan dan persendian. Karena memiliki nilai ekonomi yang masih rendah, obat berbahan dasar ceker bisa diproduksi dengan biaya yang relatif lebih murah dengan kandungan yang sama dengan suplemen yang telah beredar di pasaran.
Pembuatan Cerra yang mereka inisiasi sejak bulan Mei silam di bawah bimbingan drh. Setyo Budhi, M.P., diawali dengan proses simplifikasi ceker sehingga didapatkan serbuk Cerra dengan kandungan kalsium dan fosfor dua hingga tiga kali lebih besar dari kandungan ceker utuh. Kemudian, proses dilanjutkan dengan pembuatan formulasi Cerra dalam sediaan kapsul sehingga dapat diperoleh penyerapan secara maksimal.
“Dengan cara mengubah ceker menjadi bentuk serbuk melalui proses simplifikasi, kami mendapatkan raw material yang mudah dicerna dan tidak menghilangkan kandungan dalam ceker yang mendukung proses kesembuhan fraktur,” imbuh Yudith.
Hasil formulasi kapsul kemudian diujikan secara invivo pada tikus wistar yang telah diberi perlakuan fraktur femur dexter dan diobati dengan sediaan kapsul Cerra. Setelah diamati selama 21 hari, didapatkan hasil berupa dampak positif dari pemberian Cerra pada kecepatan kesembuhan fraktur.
“Proses pembentukan kalus pada kelompok cerra dengan dosis 225 mg/ekor/hari lebih cepat dibandingkan kelompok yang lain. Hal ini didukung dengan analisis statistik menggunakan One Way Annova yaitu P<0.05. Hal ini membuktikan bahwa terjadi pertumbuhan kalus secara signifikan pada kelompok Cerra 225 mg/ekor/hari,” papar Mellya.
Ia menambahkan, untuk saat ini penelitian masih dalam tahap preklinis, dan diharapkan setelah ini akan dilakukan tahapan klinis dan postklinis. Melalui pengujian lebih lanjut, ia berharap obat ini dapat diproduksi dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai alternatif obat yang sudah ada. (Humas UGM/Gloria)