Permasalahan kesehatan jiwa yang terjadi di masyarakat acap kali masih diabaikan. Di beberapa negara, permasalahan kesehatan jiwa ini masih terpinggirkan, tidak muncul dan tertutupi dengan penyakit-penyakit fisik.
Padahal, faktanya 6 persen dari penduduk Indonesia mengidap depresi. Para penderita depresi ini tidak terdeteksi, dan datang ke ruang dokter dengan keluhan-keluhan bersifat fisik.
“Di masyarakat kita kurang familiar, mereka datang ke dokter dengan keluhan tidak bisa tidur, deg-degan, rasa capek dan lain-lain. Tidak seperti di Australia, pasien datang ke dokter berterus terang saya depresi,” ujar Dr. Diana Setiyawati, M.HSc.Psy., Psikolog, Direktur Center for Public Mental Health, di Fakultas Psikologi UGM, Senin (2/7).
Berbicara dalam acara International Summer Course II bertema Advocay Skills in Mental Health System Development: From Research to Policy, Diana menuturkan para penderita depresi di Indonesia tidak kelihatan.
Bahkan, di kantor pun tidak kelihatan jika ia depresi karena bisa masuk kerja seperti biasa. Hanya saja, di kantor ia tidak produktif karena tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa berpikir.
“Tanda-tandanya tidak lagi memiliki passion untuk pekerjaannya. Hal-hal seperti inilah yang menimbulkan kerugian negara. Sebagai psikolog saya amati seperti itu, mereka memperlihatkan keluhan capek, capek banget, males mikir masa depan, urip sak tekane, tidak punya semangat, susah tidur seperti itu, kurang konsentrasi,” katanya.
Oleh karena itu, upaya-upaya melawan depresi dengan membuat orang sadar dan membangun cara berobat yang tepat menjadi sangat penting. Seperti berobat dengan cara konseling atau jika parah dengan minum obat atau terapi-terapi yang dibuat bersama.
“Sebenarnya memprihatinkan kejadian depresi yang bersembunyi di balik keluhan sakit fisik ini. Karena kita menduga-duga, meski belum ada data angka bunuh diri juga tinggi,” ucapnya.
Padahal, kata Diana, penyakit ini sebenarnya bisa ditolong andai saja masyarakat tahu ini depresi. Berbagai pihak pun sudah berusaha meningkatkan literasi terkait depresi ini untuk disampaikan pada masyarakat.
Upaya lain adalah dengan menempatkan 1 psikolog di puskesmas. Upaya ini di DIY sudah berjalan, terutama di Kabupaten Sleman, Kota Jogja dan Kabupaten Bantul.
Bahkan, puskesmas di Kabupaten Sleman dalam setahun mampu melayani 69 ribu pasien. Dengan rata-rata 1 puskesmas dalam satu tahun mampu melayani 200 pasien.
“Untuk 1 pasien memakan ongkos 13 ribu rupiah. Di Sleman sejak 2004, kesadaran untuk kesehatan jiwa ini cukup tinggi. Karenanya kita-kita ini terus berusaha mendiseminasi dengan datang ke kepala-kepala daerah dan DPRD agar mendapat dukungan anggaran untuk upaya peningkatan kesehatan jiwa ini,” katanya.
Sementara itu, Prof. Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc., Ph.D., mengatakan menyusul sukses sebelumnya, Fakultas Psikologi UGM kembali menyelenggarakan Internasional Summer Courses II selama 12 hari, 2-13 Juli 2018. Internasional Summer Courses kali ini diikuti 11 pakar internaisional dan 21 mahasiswa asing dan beberapa dinas terkait dari dalam negeri.
“Tema yang diangkat adalah mental health advokasi. Mental health adalah fokus dari bisnis fakultas ini. Apa-apa yang dipelajari di kelas tidak ada manfaatnya jika tidak dipraktikkan. Karena itu diperlukan apa yang dinamakan advokasi untuk mempromosikan,” kata Kwartarini, Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Kerja Sama Fakultas Psikologi UGM.
Sebagai puncak penyelenggaraan International Summer Courses akan diselenggarakan seminar bertema Depression & Culture. Seminar ini akan menghadirkan pembicara Prof. Nila Moeloek, Prof Byron Good, Prof Mary-Jo Good, Alasdair Donald, Ph.D dan lain-lain. (Humas UGM/ Agung)