Sejak 2009, batik telah ditetapkam sebagai warisan budaya milik Indonesia oleh UNESCO. Sebagai respons terhadap penetapan tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan Permendag yang mengatur pembatasan impor tekstil dan produk tekstil batik serta motif batik. Institute of International Studies (IIS), Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL UGM mengadakan sebuah diskusi untuk mengetahui sejauh mana penetapan batik sebagai warisan budaya berperan sebagai justifikasi kebijakan proteksionis. Diskusi yang mengangkat tema “Batik dan Politik Warisan Budaya di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik Internasional” diselenggarakan pada Kamis (24/5) di Ruang Rapat IIS, FISIPOL UGM.
Shofi Fatihatun Sholihah sebagai narasumber dalam diskusi kali ini menyampaikan beberapa pandangannya tentang batik saat ini. Menurutnya, batik dapat dilihat sebagai komoditas dan budaya. Dilihat dari sisi komoditas batik menjadi pangsa ekspor dan impor. Sementara dari perspektif budaya batik memiliki nilai yang patut dilestarikan. “Aktivitas penjual dan pembeli juga secara tidak langsung turut melestarikan batik itu sendiri,” tutur Shofi.
Peningkatan jumlah pemakai batik saat ini, menurut Shofi, terjadi karena dipicu penetapan batik sebagai warisan budaya. Sejak saat itu tren penggunaan batik meningkat. Ia menjelaskan bahwa produksi batik Indonesia tidak sebanding dengan jumlah yang ada. Proses pembuatan batik tulis dan cap yang terbilang tak secepat kain tekstil motif batik akhirnya memicu impor batik dari luar negeri. “Pengadaan impor batik dikhawatirkan dapat menggeser perspektif masyarakat tentang batik yang ada,” ungkap Shofi.
Kekhawatiran itu akhirnya direspons pemerintah dengan menetapkan Permendag no. 15 Tahun 2015 tentang kebijakan impor tekstil, produk tekstil batik dan motif batik.
Lebih jauh Shofi mencoba menilik bagaimana UNESCO International Cultural Heritage Safeguard (ICHS) dapat digunakan untuk menjustifikasi kebijakan pembatasan impor tekstil dan produk tekstil batik serta motif batik. Shofi berpendapat bahwa ICHS cenderung lemah jika digunakan untuk menjustifikasi kebijakan pembatasan impor tekstil dan produk tekstil batik maupun motif batik dari segi ekonomi. Hal itu salah satunya dikarenakan tidak adanya like product. Meski begitu, Shofi menambahkan jika secara normatif penggunaan ICHS penting untuk memperkuat perlindungan produk batik.
“Hal itu diakomodasi dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pasal XX (f) General Expection mengenai imposed to protect national treasure dan didukung oleh pengakuan batik sebagai warisan budaya,” tegasnya. (Humas UGM/Catur)