Pasca reformasi 1998, selain memetik hasil positif dengan semakin meluasnya partisipasi dalam pengambilan keputusan politik, perkembangan politik di Indonesia juga diwarnai dengan sejumlah kekecewaan. Kekecewaan tersebut diantaranya terlihat pada landasan ideologi bangsa (Pancasila) yang sedemikian lama disalahgunakan guna mempertahankan kekuasaan rezim Orde Baru.
Akibatnya, di kalangan masyarakat tumbuh sikap skeptis terhadap Pancasila yang semestinya menjamin nilai-nilai persatuan, keadilan, kebebasan dan kesetaraan hukum. Sebagai reaksi apatis maka banyak kendala dalam penanaman nilai-nilai Pancasila sehingga tidak efektif.
“Marasme seperti itu membuka peluang ideologi-ideologi intoleran semakin berkembang di kalangan masyarakat. Ciri-cirinya menolak pihak yang berbeda, intimidasi, persekusi dan kekerasan terhadap kelompok lain yang semakin marak,” kata Dr. J. Haryatmoko, SJ di Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (16/5) saat berlangsung Seminar Great Thinker Merefleksikan Gagasan Hannah Arendt, Gejala Tribal Nationalism di Tahun Politik Indonesia.
Menyikapi keprihatinan terhadap situasi tersebut, menurut Haryatmoko, menjadi penting untuk menggali nasionalisme, terutama mekanisme patologisnya. Sementara gagasan Hannah Arendt menawarkan analisis tajam terkait nasionalisme berkat pengalaman dan luasnya studi arsip.
“Perspektif baru membantu menguak fenomena propaganda, fitnah, intimidasi, mobilisasi massa, persekusi, kekerasan dan pembentukan paramiliter sebagai instrumen gerakan totaliter. Ada kemiripan antara patologi nasionalime “tribal” dengan fenomena populisme agama yang marak di banyak negara di dunia dewasa ini,” tutur dosen Filsafat UI Jakarta dan USD Yogyakarta.
Haryatmoko menyebut populisme merupakan bentuk reaksi terhadap tidak berfungsinya demokrasi. Tuduhan ini dialamatkan kepada politisi yang sedang berkuasa karena dianggap “tidak menjalankan kekuasaan untuk kepentingan rakyat”.
Populisme agama, sebutnya, mirip dengan gerakan-gerakan pra-totaliter yang menjadi semacam bendera perjuangan membela rakyat dengan dalih kedaulatan rakyat disita elite yang korup.
“Padahal, biasanya pengritiknya juga demagog yang haus kekuasaan, perilakunya akan sama bila berkuasa. Tapi untuk mendapat simpati perlu menunjukkan wajah berpihak ke rakyat,” tuturnya.
Dr. Kuskridho Ambardi, MA, dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, mengungkapkan konsep tribal nationalism mungkin bukan konsep yang siap pakai untuk konteks Indonesia, kecuali jika dilakukan conceptual stretching dengan memasukan tren yang berkembang dalam dalam dua dekade terakhir di Indonesia. Dengan melihat esensi tribal nasionalism yang memiliki sifat eksklusionari dan hierarkis maka hal itu bisa diterapkan pada kecenderungan maraknya tribalisme keagamaan di Indonesia. (Humas UGM/ Agung)