Gawai dan berbagai macam media sosial di dalamnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan remaja atau generasi millenial saat ini. Namun, aktivitas di media sosial ternyata bisa menjadi salah satu pemicu depresi pada remaja.
“Sosial media sejak lama sebenarnya menjadi faktor penting. Persoalannya sosial media itu bisa positif bisa negatif. Saat ini masing-masing individu tidak terlalu selektif dalam melihat informasi itu sehingga banyak negatifnya itu lebih diserap oleh anak-anak sekarang,” ujar pakar kesehatan masyarakat, Prof. Siswanto Agus Wilopo, Rabu (9/5) di Fakultas Psikologi UGM.
Hal ini ia sampaikan dalam acara Pre-Convention on Depression and Culture : “The Untold Story” yang merupakan pembuka dari rangkaian agenda Public Mental Health Weeks (PMHW) 2018. Ia memaparkan melalui media sosial remaja memperoleh akses terhadap berbagai macam informasi. Tanpa kemampuan untuk menyaring informasi tersebut, keberadaan informasi ini justru dapat memberikan dampak buruk pada kondisi psikologis remaja.
“Kalau terlalu banyak informasi yang masuk tapi tidak ada filter, ini salah satu hal yang bisa menjadikan stres,” jelasnya.
Salah satu sumber tekanan dari media sosial yang ia maksud berkaitan dengan pemahaman remaja terhadap gambaran diri atau body image. Banyak orang kini menjadikan konten-konten media sosial sebagai standar nilai sosial, khususnya yang berkaitan dengan penampilan.
Standar-standar yang muncul dari media sosial sering kali menimbulkan tekanan pada remaja untuk menampilkan diri mereka sedemikian rupa sesuai dengan apa yang ia lihat di media sosial, dan membuat mereka kehilangan kepercayaan diri jika tidak mampu memenuhi standar tersebut.
Untuk menghindari efek tersebut, Siswanto menekankan bahwa setiap remaja perlu memiliki kepekaan untuk memilah informasi positif dan negatif, serta resiliensi atau daya lenting agar tidak mudah terpengaruh oleh tekanan sosial yang muncul dari media sosial.
“Kalau kita menggunakan pengalaman anak remaja sekarang, yang namanya cantik itu di dalam pikiran mereka kan seperti model-model yang badannya kurus, dan lainnya. Dalam hal ini kuncinya adalah ketahanan dari masing-masing individu, bagaimana kita menghadapi informasi yang buruk dan tidak membiarkannya mempengaruhi diri kita,” jelasnya.
Selain daya lenting dari pribadi remaja itu sendiri, ia menyebutkan bahwa salah satu upaya pencegahan depresi pada remaja terletak pada peran orang tua. Orang tua, menurutnya, perlu menjalin komunikasi yang baik dengan anak remajanya.
“Peran orang tua secara langsung harus menjalin komunikasi. Orang tua juga harus bisa melihat indikator-indikator apakah anaknya itu positif atau negatif,” kata Siswanto.
Berkaitan dengan hal tersebut, pakar psikologi klinis, Prof. Sofia Retnowati, memaparkan beberapa tanda depresi, di antaranya perubahan dalam sikap dan perilaku, turunnya rasa percaya diri, serta adanya kesulitan untuk berkonsentrasi.
Sofia menuturkan selain sosial media, situasi sehari-hari yang dihadapi individu dapat menjadi pemicu stres. Pemicu ini, ujarnya, bukan sesuatu yang bisa dihindari. Agar tidak berujung pada depresi, seorang individu perlu menemukan cara untuk menghadapi pemicu tersebut dengan baik dan menciptakan kondisi yang baik bagi kesehatan mental, misalnya dengan berolahraga atau meningkatkan interaksi sosial.
“Saat ini orang bisa duduk bersama tapi sibuk dengan gadget mereka masing-masing, bukannya saling berinteraksi, padahal dukungan sosial ini yang perlu kita tingkatkan. Selain itu, olahraga juga bisa menangkal depresi,” kata dosen Fakultas Psikologi UGM ini. (Humas UGM/Gloria)