Produksi gula nasional dinilai belum mampu memenuhi kebutuhan nasional. Produksi nasional hanya mencapai 2,1 juta ton per tahun, sementara kebutuhan akan gula konsumsi dan rafinasi mencapai 6,8 juta ton. Menurunnya produksi gula nasional disebabkan rendahnya produktivitas 48 pabrik gula milik pemerintah dan 17 milik swasta serta semakin menurunnya jumlah lahan perkebunan tebu nasional. Oleh karena itu, pemerintah dan swasta diharapkan melakukan revitalisasi pabrik gula, menambah jumlah lahan tebu serta meningkatkan program kemitraan dengan petani tebu rakyat.
Demikian yang mengemuka dalam Seminar Nasional yang bertajuk Kajian Komprehensif Sistem Pergulaan Menuju Ketahanan dan Kemandirian Industri Gula Nasional, Kamis (26/4) di Gedung Auditorium MM UGM. Seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM ini menghadirkan pembicara, diantaranya Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kemenko Perekonomian, Ir. Musdalifah Machmud, MT, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementertian Perdagangan, Oke Nurwan Dipl.Ing, dan Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, Dr. Agus Wahyudi.
Musdalifah Machmud mengatakan industri gula saat ini sebagian besar berada di pulau Jawa karena beberapa pabrik tersebut umumnya bekas peninggalan Belanda. “Rata-rata perusahaan gula berumur lebih dari 100 tahun,” ujarnya.
Dengan pabrik yang sudah tua tersebut, pemerintah tengah melakukan upaya melakukan revitalisasi dan penambahan jumlah pabrik baru untuk meningkatkan jumlah produksi gula nasional, “Empat pabrik yang baru akan mulai beroperasi tahun 2022 dengan kapasitas 12 ribu To cane Per Day (TCD),” katanya.
Meski sekitar 78,7 persen pabrik gula berada di Pulau Jawa, namun daerah yang paling banyak terdapat pabrik gula justru berada di daerah Jawa Timur. Jawa timur tidak hanya sebagai lumbung penghasil gula nasional, namun juga penghasil komoditas pangan terbesar lainnya, seperti daging ayam, telur hingga jagung. “Daerah ini sangat cocok untuk tempat pabrik gula dan kualitas SDM-nya sangat mendukung untuk industri pangan kita,” katanya.
Sementara itu, Oke Nurwan menuturkan dari 63 pabrik gula, 48 diantaranya milik pemerintah dan sisanya milik swasta. Namun, jumlah pabrik tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan gula nasional yang setiap tahunnya terus meningkat. “Oleh karena itu, dilakukan buka tutup kran impor. Kebutuhan gula mencapai 6,8 juta ton, diperkirakan 3 juta ton gula konsumsi dan sisanya gula rafinasi,” katanya.
Kebutuhan gula rafinasi, menurutnya, diperlukan untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman yang dipasok oleh 11 pabrik gula rafinasi. Penyerapan gula rafinasi, 64 persen penggunananya untuk industri makanan dan minuman dan sebagain produknya dijual untuk ekspor. “Impor gula ini untuk mendukung industri makanan dan minuman yang setiap tahunnya tumbuh 7-8 persen,” katanya.
Menurutnya, apabila tidak dilakukan pembenahan dalam meningkatkan produktivitas gula nasional serta penambahan lahan maka bangsa Indonesia akan terus bergantung dengan bahan baku gula impor. “Apabila tidak berbenah, produksi gula yang seharusnya menggerakkan roda perekonomian, akan selalu bergantung pada bahan baku impor,” paparnya.
Agus Wahyudi menyebutkan saat ini produksi gula nasioanl hanya 2,14 juta ton dengan luas area perkebunan tebu sekitar 423 ribu hektare. Setiap hektarenya, perkebunan tebu menghasilkan 5 ton gula per hektare. “Idealnya 600 ribu hektare dengan produksi 10 ton per hektare. Ada gap areal dan gap produktivitas,” katanya.
Untuk mengatasi gap yang begitu besar tersebut salah satu kebijakan yang ditempuh dengan menjembatani manajemen pabrik gula dan petani tebu yang selama ini dinilai berjalan sendiri-sendiri. “Saat ini lepas dan minim, apabila terkena hama, penyaluran benih dan pupuk, kredit pinjaman seolah terputus antara pabrik, petani dan pemerintah,” katanya.
Salah seorang petani tebu asal Mojokerto, H. Mubin, mengeluhkan kelangkaan pupuk subsidi dan benih bagi para petani tebu. Padahal, adanya pupuk subsidi bisa mengurangi biaya produksi. “Kesannya pupuk subsidi diperuntukkan untuk tanaman pangan. Bantuan bagi kami sangat minim. Apalagi soal bibit, kalau seperti ini kami harus mengadu kemana?,” kata Mubin. (Humas UGM/Gusti Grehenson)