Padang lamun merupakan satu ekosistem karbon biru di wilayah pesisir yang didominasi vegetasi lamun (angiospermae). Ekosistem padang lamun sangat berperan menjaga kelangsungan hidup biota laut, membuat air laut jernih, dan menjadi stabilisator sedimen perairan. Tumbuhan air berbunga itu juga melindungi bumi karena mampu mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dan mitigasi perubahan iklim. Indonesia sendiri merupakan pusat keanekaragaman hayati padang lamun dan memiliki 5%-10% luas padang lamun dunia. Berdasarkan hasil kajian Pusat Riset Oseanografi-BRIN (PRO-BRIN), luas padang lamun Indonesia yang diteliti baru mencapai 293.464 hektare atau sekitar 16%- 35% dari potensi sesungguhnya. Oleh karena itu, diperlukan riset pemetaan yang terintegrasi, komprehensif dan akurat untuk ketersediaan data padang lamun wilayah pesisir di Indonesia.
Hal itu mengemuka dalam workshop yang diselenggarakan Fakultas Geografi UGM yang bertajuk Peran dan Status Ketersediaan Data Lamun Indonesia untuk Mendukung Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan, Selasa (30/8) di Hotel Phoenix Yogyakarta.
Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med., Ed., Sp.OG (K)., Ph.D., dalam sambutannya mengatakan peneliti Universitas Gadjah Mada saat ini bekerja sama dengan berbagai lembaga dalam dan luar negeri tengah menyusun peta data lamun yang terintegrasi, nir biaya melalui teknologi metode penginderaan jauh untuk memetakan berbagai macam parameter ekosistem karbon biru, termasuk padang lamun dan hutan mangrove. Menurutnya, keberadaan padang lamun sangat penting sebagai penghasil karbon biru dunia dan mitigasi perubahan iklim.
“Karbon di padang lamun lebih tinggi dari hujan tropis. Penting keberadaan padang lamun ini untuk mitigasi perubahan iklim dan salah satu sumber daya alam penting yang perlu dikelola secara berkelanjutan,” kata Rektor.
Ia menyebutkan padang lamun sebagai penyedia ekosistem biota laut dan penghasil karbon biru baru dipetakan sekitar 16 hingga 35 persen dari potensi padang lamun yang ada. Bahkan dari 110 lokasi padang lamun yang sudah dipetakan, sekitar 42 persen dalam kondisi kritis atau tidak sehat. “ Kita perlu membangun kerangka standar basis data peta seagrass (padang lamun) yang nir biaya, terintegrasi dan akurat,” ujarnya.
Dosen Fakultas Geografi UGM sekaligus peneliti padang lamun Dr. Pramaditya Wicaksono menuturkan saat ini sekitar 30 persen padang lamun di dunia telah hilang. Luas padang lamun di dunia berkurang hampir 1 hektare setiap 30 menit atau 2%-5% per tahun. “Jika dibandingkan dengan usaha pemulihan terumbu karang dan hutan mangrove, intensitas aktivitas rehabilitasi padang lamun pun jauh lebih sedikit,” paparnya.
Menurutnya, minimnya pengetahuan dan popularitas, pengelolaan ekosistem padang lamun hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, masih belum optimal. “Belum banyak yang tahu akan pentingnya jasa ekosistem padang lamun sehingga ekosistemnya belum terkelola secara khusus,” katanya.
Pramaditya mengusulkan untuk mengoptimalkan peran ekosistem padang lamun perlu dikelola secara berkelanjutan. Upaya yang bisa dilakukan dengan memetakan distribusi spasial dan temporal, beserta informasi biofisik, dari variasi spesies, persentase tutupan, biomassa, cadangan karbon, dan laju serapan karbon. “Ketersediaan informasi sangat penting untuk menganalisis dinamika pada ekosistem padang lamun,” ujarnya.
Sementara untuk mendapatkan informasi soal ketersediaan data padang lamun tersebut, menurutnya metode penginderaan jauh merupakan teknologi paling optimal untuk memetakan distribusi spasial dan temporal padang lamun. “Kami terus mengembangkan metode pengolahan data penginderaan jauh untuk memetakan padang lamun secara akurat, efektif, dan efisien,” paparnya.
Pramaditya juga menjelaskan bahwa pihaknya kini tengah mengembangkan algoritma dan toolbox pengolahan citra digital penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk pemetaan stok karbon atas permukaan dan sekuestrasi karbon ekosistem padang lamun secara otomatis. Rencananya berdasarkan hasil pemetaan tersebut, dapat diidentifikasi lokasi-lokasi ekosistem padang lamun yang perlu dilakukan perlindungan dan atau pemulihan. “Kami ingin dapat memetakan dinamika padang lamun di Indonesia melalui penginderaan jauh multitemporal,” ujarnya.
Dekan Fakultas Geografi UGM, Dr. Danang Sri Hadmoko, menuturkan pihaknya sudah mendirikan grup riset bernama Blue Carbon Research Group yang berfokus pada ekosistem karbon biru, terutama padang lamun dan hutan mangrove. “Kami berharap ekosistem padang lamun mendapatkan perhatian yang lebih baik lagi dari saat ini dan benar-benar dikelola secara berkelanjutan. Dengan begitu, jasa-jasa ekosistemnya dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim betul-betul dapat dioptimalkan,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Freepik