
Profesor emiritus dari Australian National University, Lorraine Elliott, memberikan kuliah umum di FISIPOL UGM pada Kamis (22/2). Dalam kesempatan ini, ia memberikan kuliah terkait global environment politics sesuai dengan bidang studinya dalam ilmu hubungan internasional.
Mengawali kuliahnya, ia menyebutkan beberapa tantangan terkait lingkungan yang dialami oleh negara-negara di dunia dewasa ini, di antaranya perubahan iklim, deforestasi, polusi, kerusakan ekosistem laut, dan lainnya.
“Kebanyakan negara mengalami sebagian dari tantangan-tantangan ini, meski antara satu negara dengan yang lain pasti berbeda kondisinya,” ujar Lorainne.
Perubahan iklim serta isu lingkungan lainnya, ujar Lorainne, menimbulkan beragam ketidakpastian karena para ilmuwan sendiri belum bisa sepenuhnya memahami dampak yang akan timbul dalam jangka panjang.
Karena itu, pembahasan tentang kebijakan pengelolaan lingkungan kini menjadi semakin ramai di tingkat dunia dan menjadi salah satu isu yang lekat dengan politik internasional.
“Isu ini menjadi salah satu isu yang penting di samping isu-isu politik internasional lainnya,” imbuhnya.
Kebijakan pengelolaan lingkungan di tingkat global, menurutnya, menjadi hal yang cukup kompleks mengingat sistem yang terbangun cenderung terfragmentasi dan bersifat multi-level. Di satu sisi, hal ini memang memberikan kesempatan untuk apa yang ia sebut sebagai clustering, namun di sisi lain struktur ini juga dapat menimbulkan ambiguitas dan ketidakpastian.
Selain Lorainne, kuliah umum ini juga menghadirkan pembicara dari universitas yang sama, yaitu Abidah Setyowati, lulusan fakultas biologi UGM yang kini menjadi Postdoctoral Research Fellow of International Relation di ANU.
Terkait kondisi lingkungan di Indonesia, ia menyebutkan bahwa perubahan iklim telah menunjukkan dampak negatif yang cukup signifikan, salah satunya menyebabkan Indonesia harus kehilangan puluhan pulau kecil dalam 10 tahun terakhir. Namun, ia juga menyatakan bahwa pemerintah Indonesia terlihat cukup menyadari ancaman dari perubahan iklim dan telah membuat beberapa aksi penting untuk menjawab tantangan tersebut.
“Indonesia pernah menjadi tuan rumah United Nations Framework Convention on Climate Change pada tahun 2007, dan ini menjadi sebuah tonggak sejarah bagi pemerintah Indonesia dalam komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca,” jelasnya.
Usai kegiatan tersebut, komitmen pemerintah Indonesia dalam hal ini terus disuarakan, salah satunya dengan menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 29% pada tahun 2030, serta mengeluarkan berbagai roadmap serta rencana aksi.
Meski realisasi dari target tersebut belum bisa dilihat dalam waktu dekat, ia mengapresiasi penetapan target tersebut sebagai sebuah bentuk komitmen awal yang baik. Jika rencana-rencana yang ditetapkan bisa benar-benar dijalankan, hal ini menurutnya dapat memunculkan perbaikan yang signifikan bagi kondisi lingkungan Indonesia.
“Kalau dilakukan dengan baik ini bisa merubah secara revolusioner cara Indonesia menjalankan pembangunan,” ucap Setyowati. (Humas UGM/Gloria)