Terkait persoalan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, akademisi dari berbagai fakultas hukum di Yogyakarta sepakat menyerukan agar Arief mundur dari jabatannya.
Desakan ini diutarakan dalam diskusi yang berlangsung di Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM pada Senin (5/2) sore.
“Sekarang kita menghadapi situasi orang yang ada di puncak lembaga yang terhormat ini justru tidak bisa dijadikan rujukan, bahkan menurut saya mengkhianati amanat yang diberikan. Bagi saya, dia sudah tidak layak menduduki jabatan tersebut,” tutur Dekan Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M.
Senada dengan itu, peneliti PUKAT UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., mengutarakan bahwa sebagai Ketua MK, Arief telah melanggar asas-asas yang terkandung dalam UU MK. Persoalan ini, menurutnya, bisa merusak kepercayaan publik terhadap putusan MK. Hal inilah yang menjadi perhatian dari para akademisi, yaitu bagaimana menyelamatkan lembaga tersebut dari hal-hal politis.
“Kita bukan hanya bicara soal Arief, tapi soal masa depan MK. MK adalah salah satu harapan kita di tengah kegalauan susahnya hukum memenangi kepentingan politik. Tatkala kita membiarkan politik menundukkan hukum, berarti selesai sudah,” ucapnya.
Pada 16 Januari 2018, Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Arief setelah terbukti menemui politikus dan anggota DPR RI pada November 2017, yang diduga berkaitan dengan pemilihan hakim konstitusi perwakilan DPR RI dan pemilihan Ketua MK. Sebelumnya, Dewan Etik MK juga telah menjatuhkan sanksi kepada Arief atas dugaan pelanggaran etik berupa mengirimkan katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung untuk membina salah seorang kerabatnya yang menjadi jaksa.
Keprihatinan terhadap persoalan di dalam tubuh MK juga dilontarkan Direktur Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (UII), Eko Riyadi. Pelanggaran kode etik oleh Arief, ujarnya, menunjukkan mental buruk yang tidak sepatutnya dimiliki oleh seorang hakim konstitusi.
“Kalau ada hakim konstitusi yang mempunyai mental buruk melobikan putusannya, dia harus berhenti karena ini bukan hanya membahayakan MK tapi membahayakan bangsa. Ketua MK harus mundur dan atau diberhentikan,” kata Eko.
Melalui gerakan ini, ujarnya, para akademisi hukum berupaya untuk mendorong perubahan dalam peradaban hukum di Indonesia. Harapannya beberapa tahun mendatang gerakan serupa tidak perlu lagi diadakan karena para pemimpin negara telah memiliki kesadaran untuk langsung mengundurkan diri jika terbukti melakukan pelanggaran, suatu tindakan yang tidak jarang diambil pemimpin di beberapa negara.
“Di Indonesia mungkin tidak banyak preseden pejabat yang mengundurkan diri, tapi dalam catatan sejarah ada hakim konstitusi yang mengundurkan diri yaitu Arsad Sanusi, atau beberapa pejabat lain yang mengundurkan diri karena tidak mampu memenuhi target. Memang tidak banyak preseden, tapi itu cukup untuk menjadi contoh bagi yang bersangkutan,” imbuh Direktur Advokasi PUKAT, Oce Madril, S.H., M.A.Dev.
Menimpali hal tersebut, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Trisno Raharjo, S.H.,M.Hum., juga mengutarakan harapannya agar Arief berlaku sebagai seorang negarawan yang sejati dengan memilih untuk mengundurkan diri.
“Mungkin ia membutuhkan dukungan. Kami memberikan dukungan penuh jika Arief memilih menjadi negarawan sejati dan mengundurkan diri,” ucapnya.
Selain membahas polemik yang bersangkutan dengan pribadi ketua MK, dalam diskusi ini para akademisi juga mengulas beberapa isu lain seputar masa depan MK dan peran dunia akademik untuk mendukung peran-peran yang dijalankan MK. (Humas UGM/Gloria).