Menanggapi keresahan terkait berkembangnya perilaku negatif di kalangan remaja, Fakultas Psikologi UGM dan Disdikpora DIY mengembangkan program Sekolah Sejahtera.
Dirintis pada tahun 2015 silam, program ini ditutup dengan penyematan predikat Perintis Sekolah Sejahtera kepada 10 sekolah oleh Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Yogyakarta Baskara Aji pada Senin (18/12) di Fakultas Psikologi UGM.
“Tujuan utama dalam menyelenggarakan pendidikan adalah supaya semua stakeholder merasa senang dan nyaman, dengan kata lain itu adalah sejahtera. Tugas sekolah-sekolah ini sekarang adalah menjadi contoh bagaimana menciptakan ekosistem sekolah sejahtera,” ujar Aji.
Sekolah sejahtera merupakan sistem sekolah saat warganya, yaitu guru, karyawan, siswa, dan orang tua, saling mendukung, saling memberi apresiasi positif, dan saling memotivasi sehingga anak tumbuh optimal dengan karakter yang tangguh, mengenali potensi diri, produktif, dan mampu berkontribusi untuk komunitas.
Dalam 3 tahun terakhir, Center for Public Mental Health (CPMH) UGM melakukan berbagai langkah untuk membangun pondasi sekolah sejahtera melalui kegiatan sosialisasi, pelatihan literasi kesehatan mental untuk guru dan murid, penempatan psikolog sekolah, serta pembentukan peer counselor di masing-masing sekolah. Upaya-upaya ini pun mendapat apresiasi dari Aji yang telah melihat sendiri perubahan yang terjadi di sekolah-sekolah percontohan.
“Terima kasih kepada jajaran CPMH UGM yang telah membantu kami mengembangkan konsep Sekolah Sejahtera. Kami telah melakukan survei kedinasan, dan kesimpulan yang kami dapatkan adalah bahwa konsep ini sangat mendukung pengembangan akademik dan karakter anak-anak,” tuturnya.
Direktur CPMH UGM, Diana Setiyawati, M.HSc.Psy., Ph.D., memaparkan bahwa ide dari program ini sendiri telah muncul sejak 2012 lalu dalam Deklarasi Sekolah Indonesia Sejahtera di kawasan titik Nol Kolometer untuk meningkatkan perhatian masyarakat dan pemangku kebijakan akan pentingnya keberadaan sekolah sejahtera yang tidak hanya fokus pengembangan intelektualitas tapi juga mengoptimalkan pengembangan potensi diri dan kesehatan mental siswa.
“Konsep ini sendiri dipelopori oleh Prof. Amitya dan bergulir sampai sekarang hingga menghasilkan Sekolah Sejahtera,” ucap Diana.
Sistem ini, ujarnya, berangkat dari pengertian bahwa siswa belajar dengan lebih baik dan memperoleh hasil belajar yang baik ketika mereka merasa aman, bahagia, dan tertarik dengan pelajaran. Karena itu, diperlukan penekanan pada cara pandang yang positif terhadap anak baik oleh guru, karyawan sekolah, serta orang tua.
“Idenya adalah membangun sistem yang tidak hanya bertindak ketika ada masalah, tapi sistem preventif dengan menciptakan iklim positif di kelas yang membuat anak-anak merasa di-orang-kan. Rasa dihargai dan dianggap sendiri sudah menjadi sesuatu yang penting bagi anak-anak remaja,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menuturkan dalam sistem ini guru-guru diajak untuk lebih banyak berkomunikasi dengan muridnya, termasuk dalam mendisiplinkan murid. Alih-alih langsung memberi hukuman, guru menurutnya bisa menanyakan alasan siswa serta menekankan cara disiplin yang lebih positif.
“Guru-guru sendiri mengatakan bahwa dengan cara itu mereka jadi lebih mengenal siswa mereka, bagaimana dibalik kenakalan siswa ternyata situasinya lebih kompleks. Dengan begitu mereka bisa jadi lebih fasilitatif dan murid jadi lebih dekat dengan guru mereka,” ujarnya.
Ia berharap, melalui pendampingan selama 3 tahun ini sekolah-sekolah perintis ini bisa melanjutkan program secara mandiri dan turut menularkan konsep positif ini kepada sekolah-sekolah lain. (Humas UGM/Gloria)