Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada memperingati Dies Natalis ke-55, Kamis (18/8), di ruang Sidang Persatuan, Fakultas Filsafat. Puncak perayaan Dies dilaksanakan dengan pembacaan Laporan Dekan Fakultas Filsafat UGM, Dr. Siti Murtiningsih, di hadapan anggota Senat Akademik Fakultas. Dilanjutkan dengan pidato ilmiah soal Masa Depan Kemanusiaan dalam Perspektif Perenialisme Frithjof Schuon oleh Dosen Filsafat, Dr. Agus Himmawan Utomo, M.Ag.
Siti Murtiningsih mengawali pidato laporannya menyampaikan rasa syukur Fakultas Filsafat sudah memasuki usia ke-55 dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan filsafat. Ia berharap Fakulats Fislafat akan terus maju dan berkembang dalam mengembangkan tridarma perguruan tinggi. “Di usia ke-55 ini Fakultas Filsafat UGM telah berusaha memberikan kontribusi terbaiknya untuk masyarakat, bangsa dan negara, terutama dalam bidang pendidikan filsafat,” katanya.
Ia menyampaikan Fakultas Filsafat UGM mempunyai visi “Menjadi fakultas filsafat yang terpercaya sebagai pusat pendidikan, pengkajian, dan pengembangan filsafat dan kearifan lokal yang menghasilkan lulusan unggul berjiwa Pancasila”.
Dalam rangka mencapai visi tersebut, Fakultas Filsafat selama 55 tahun telah menyelenggarakan pendidikan filsafat sebagai respons terhadap kebutuhan masyarakat akan pendidikan filsafat yang bermutu. Dalam bidang akademik, Fakultas Filsafat UGM menyelenggarakan Program Sarjana Filsafat (S1), Magister Filsafat (S2), dan Doktor Filsafat (S3). Disamping itu, Fakultas Filsafat memiliki tiga departemen, yaitu Departemen Filsafat Barat, Departemen Filsafat Timur, dan Departemen Filsafat Agama, dan mengembangkan minat kajiannya meliputi Etika, Filsafat Ilmu dan Teknologi, Filsafat Agama dan Budaya, dan Filsafat Sosial dan Politik.
Namun, untuk merespons kebutuhan masyarakat akan pendidikan filsafat yang bermutu, Fakultas Filsafat UGM melalui Unit Kerja Jaminan Mutu terus melakukan supervisi dan audit dari Kantor Jaminan Mutu UGM berusaha untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan pelayanan pendidikan di lingkungan fakultas. “Hingga saat ini seluruh program studi baik Program Sarjana, Magister, dan Doktor sudah terakreditasi A,” terangnya.
Selain itu, Fakultas Filsafat UGM dari waktu ke waktu berupaya untuk meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak dalam bidang pendidikan, pengkajian, pengembangan dan pengabdian dalam bidang filsafat dan kearifan lokal. Menurutnya, kerja sama ini adalah suatu upaya dalam memperluas jejaring fakultas dengan instansi atau lembaga lain, baik instansi pemerintahan, organisasi swasta maupun institusi pendidikan dan penelitian pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. “Realisasi kerja sama tingkat lokal universitas terlaksana dalam bentuk koordinasi bersama antar-fakultas dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, seperti penyelenggaraan mata kuliah pendidikan kepribadian, kegiatan diskusi atau seminar, penelitian, penerbitan, dan pengabdian masyarakat,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Dekan Filsafat menyebutkan pada tahun 2021 hingga 2022, setidaknya ada 13 kerja sama yang sudah dilakukan baik internal dalam universitas, antar perguruan tinggi, maupun internasional.
Dr. Agus Himmawan Utomo, M.Ag., dalam pidato ilmiahnya mengatakan selama pandemi global Covid-19, masyarakat dunia dihadapkan dengan keadaan tanpa kepastian. Menurutnya dunia pasca pandemi merupakan dunia yang sepenuhnya baru bagi sebagian besar masyarakat. Sebagiannya lagi menganggap bahwa dunia tidak berubah sama sekali. “Nyatanya, wabah ini tidak mengubah masyarakat dari bayang-bayang modernitas. Isu-isu kontemporer hari ini sejatinya tidak dapat terlepas dari semangat peninggalan modernitas, mulai dari peperangan, krisis lingkungan hidup, dekadensi moral, konsumtivisme, dan krisis kemanusiaan,” katanya.
Dikatakan Agus Himmawan, salah satu ciri utama dari krisis ini adalah orientasi kapitalisme global yang cenderung mereduksi nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, seluruh penilaian terhadap manusia diukur secara kuantitas dan material semata. “Ancaman krisis kemanusiaan ini dapat kita teliti secara seksama mulai dari perubahan sosial yang terjadi di sekitar kita,” katanya.
Percepatan teknologi, kata Agus Himmawan, membawa manusia terbelenggu pada dunia yang serba cepat (menyampaikan informasi). Bahkan, dunia sosial yang serba terkapitalisasi dan serba diukur atas basis rasionalisme teknologi. Adapun celah atas masifnya transfer teknologi pun, terkadang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur masyarakat. Di sisi lain, berkat adanya dunia virtual yang telah menubuh hampir di sela-sela kehidupan, seringkali mengaburkan kebenaran. “Berita palsu pun tidak dapat dikendalikan. Istilah anonimitas terkadang dijadikan senjata bagi sesamanya untuk saling menyandera identitas keunikan masyarakat,” katanya.
Bagi Agus Himmawan, tingkat spiritualitas mampu membantu kita untuk memahami realitas dan hakikat eksistensi melalui kesadaran kontemplatif, di sisi lain juga membantu kita untuk sampai pada kebajikan utama. Dua hal tersebut, bagi perenialis, merupakan hal esensial yang harus dimiliki agar kita dapat melampaui penderitaan dan mencapai kebahagiaan. Tanpa memahami hakikat eksistensi, manusia hanya akan diombang-ambingkan kehendak yang tidak pernah habis–dan kemajuan teknologi akan tidak memiliki makna apapun dalam konteks itu.
“Tentu saja, tanpa manusia yang memahami hakikat eksistensinya menjadi manusia, teknologi-teknologi secanggih apapun hanya akan berakhir menjadi artefak dan rongsok peradaban,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson