Menjelang peringatan Deklarasi Djoeanda yang dihasilkan dari perjuangan kedaulatan nusantara Indonesia, UGM kembali mengadakan Kongres Maritim pada 9-10 Desember mendatang.
Kongres ini pertama kali diselenggarakan pada tahun 2014 lalu di tengah momen pergantian kepemimpinan nasional sebagai bentuk perhatian UGM atas pentingnya laut dan terabaikannya laut dalam pembangunan nasional serta upaya untuk meningkatkan keadaran bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang berbudaya maritim demi kemajuan bangsa. Dalam penyelenggaraan kali ini, tema yang diangkat adalah “Kedaulatan Maritim untuk Kesejahteraan Rakyat: Mengawal Implementasi Kebijakan Kelautan Indonesia.
“Kongres Maritim ini memiliki dua tujuan, yaitu melihat kondisi maritim secara nasional dan yang kedua mengajak untuk berbicara masalah Jogja karena UGM pasti tidak bisa lepas dari isu di Jogja,” ujar sekretaris Dewan Guru Besar UGM, Prof. Drs. Koentjoro, MBSc., Ph.D., Kamis (7/12) di Gedung Pusat UGM.
Secara nasional, ujar Koentjoro, kongres tahun ini berfokus salah satunya kepada tujuh pilar dalam Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) yang disahkan pada tahun ini. Ketujuh pilar ini, di antaranya pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia, tata kelola dan kelembagaan di laut, pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut, budaya bahari, serta diplomasi maritim.
Memahami berbagai tantangan kelautan dan kemaritiman Indonesia pasca ditetapkannya KKI ini, UGM memandang adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk mengawal dan memastikan implementasinya. Lebih jauh dari itu, UGM memandang perlunya upaya nasional lintas disiplin dan lintas institusi untuk terlibat aktif dalam mewujudkan cita-cita luhur Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia.
“Dalam rangka itulah Kongres Maritim II sekaligus peringatan 60 tahun Deklarasi Djoeanda mendesak untuk diadakan dan UGM dengan penuh kesadaran mengambil peran itu untuk memfasilitasi pertemuan dan pergulatan berbagai gagasan yang dapat mewujudkan prinsip, pilar, dan kebijakan dalam KKI,” jelasnya.
Selain itu, dalam konteks daerah, ia mengutip perkataan dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, bahwa ‘pintu’ Yogyakarta saat ini menghadap ke selatan, dalam arti memprioritaskan Samudera Indonesia dan mengupayakan pengembangan maritim untuk Yogyakarta. Di tengah perubahan ini, peran UGM menjadi penting untuk mempersiapkan masyarakat agar peka terhadap perubahan dan bisa menjadi pihak yang diuntungkan dari pengembangan tersebut.
“Namanya masalah pesisir bukan sekadar mengubah arah tapi juga mengubah perilaku dan tabiat masyarakat. Untuk itu, kami akan mengundang masyarakat pesisir selatan Jawa untuk terlibat dalam kegiatan ini,” kata Koentjoro.
Pelibatan masyarakat pesisir ini, ujarnya, menjadi bentuk upaya UGM untuk mengantisipasi konflik yang mungkin terjadi di tengah perubahan besar yang akan terjadi.
“Untuk mempersiapkan komunitas ini menjadi tugas kita ke depan. Perubahan sosial yang luar biasa ini kalau masyarakat tidak dipersiapkan dari sekarang maka akan terjadi persoalan,” imbuhnya.
Selain Kongres Maritim, dalam waktu dekat Dewan Guru Besar UGM juga akan menyelenggarakan kegiatan lain, yaitu Peresmian Forum Dewan Guru Besar Indonesia dan Sarasehan Kebangsaan pada 16 Desember mendatang. Tema yang diangkat dalam acara ini adalah Masyarakat Adat dan Gerakan Kebudayaan di Indonesia: Menggali Memori Nilai-Nilai Kebangsaan.
“Di sini akan ada pembicara dari berbagai bidang yang akan berbicara mengenai perlindungan hak masyarakat hukum adat, tanah adat, pengobatan tradisional, dan tema-tema lainnya. Pidato pembukaan untuk acara ini akan disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X,” ujar Ketua DGB UGM, Prof . Dr. Ir. Putu Sudira, M Sc. (Humas UGM/Gloria; Foto: Firsto)