Bupati Kulon Progo, dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K), menyebutkan bahwa untuk mengurangi kesenjangan ekonomi, pemerintah harus bisa mendekatkan masyarakat kepada akses kapital.
“Kita harus mendekatkan kapital kepada proletar. Hari ini rakyat kalau tidak dibela tidak bisa apa-apa,” ujarnya dalam seminar nasional Tata Kelola Inovatif Menuju Pembangunan Sosial yang Berkeadilan, Kamis (26/10) di FISIPOL UGM.
Hasto menuturkan, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah Kabupaten Kulon Progo mengupayakan pembangunan daerah yang sesuai dengan kearifan lokal dan kekayaan daerah, yaitu dengan mengembangkan potensi-potensi daerah yang dapat dikembangkan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat.
“Kami memulai dari yang kecil, apa yang bisa dikerjakan sekarang. Mungkin belum bisa membuat handphone atau alat-alat canggih, tapi kami punya pertanian, ya kami kembangkan itu yang tidak harus mulai lagi dari nol,” imbuhnya.
Melalui kerja sama dengan berbagai pihak mulai dari pihak swasta hingga akademisi ia sukses mengembangkan usaha-usaha lokal yang pengelolaannya diserahkan kepada koperasi maupun Badan Usaha Milik Desa.
Berbagai produk lokal berupa air minum, beras dan berbagai produk pertanian lain serta jaringan swalayan lokal yang diberi nama Toko Milik Rakyat (Tomira) pun mulai dikenal luas dan memberikan keuntungan bagi masyarakat. Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, ia turut mengampanyekan slogan ‘Bela Beli Kulonprogo’ atau ajakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk impor dan membeli produk lokal.
“Kita punya sumber daya yang begitu besar, kenapa masih bergantung pada produk-produk luar. Kalau bisa pakai produk sendiri, kenapa tidak, supaya keuntungan itu kembali ke kita sendiri tidak lari ke orang lain,” ujarnya.
Meski pemerintah memegang peranan yang sangat penting, ia juga menekankan pentingnya peran aktif dan komitmen dari masyarakat untuk berkembang. Ia mengkritik gaya hidup masyarakat saat ini yang terbilang boros dan kurang memperhatikan kebutuhan jangka panjang. Untuk itu, ia menekankan perlunya revolusi mental dengan perubahan cara pikir untuk memunculkan perubahan yang nyata.
“Kalau mau revolusi harus ada perubahan cara pandang. Tema keadilan atau kesejahteraan tidak cukup hanya diseminarkan atau dikhotbahkan, tapi harus ada gerakan yang menjebol tatanan,” kata Hasto.
Hal serupa juga disampaikan oleh dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) UGM, Hendrie Adji Kusworo, Ph.D. Kepada para mahasiswa dan peserta yang hadir ia menjelaskan apa yang disebut sebagai new enterpreneurship yang tidak hanya fokus pada akumulasi kapital tapi lebih memperhatikan prinsip keadilan sosial.
“Pembangunan sosial yang berkeadilan hanya bisa dilahirkan dengan new enterpreneurship yang mengombinasikan pendekatan bisnis dengan efektifitas dan efisiensi, namun di sisi lain mempunyai keberpihakan pada kolektivitas dalam tata kelola yang inovatif,” tutur Adji.
Selain Hasto dan Adji, seminar nasional ini juga menghadirkan sederet pembicara dari berbagai kalangan, seperti pembina Joglo Tani, TO Soeprapto, Manajer CSR Pertamina Hulu Energi, Sudaryoko, serta Manajer General Affairs and Community Relation PT Holcim Indonesia Plant Tuban, Trayudi Darma. Seminar Nasional ini diselenggarakan oleh Departemen PSdK FISIPOL UGM dalam rangka peringatan Dies Natalis ke-60 departemen yang sebelumnya bernama Departemen Sosiatri ini. Dalam momen dies, seminar ini diharapkan dapat memberikan refleksi terhadap pelaksanaan pembangunan sosial berkeadilan sesuai dengan amanat Pancasila.
“Tema yang diangkat hari ini sangat relevan dan kontekstual dengan kondisi nasional yang kita hadapi, dan menjadi sebuah refleksi teoretis terhadap apa yang dilakukan teman-teman PSdK. Harapannya, gagasan yang disampaikan hari ini bisa bergaung di tingkat nasional dan menjadi agenda yang didengar oleh pembuat kebijakan,” ujar Dekan FISIPOL, Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si. (Humas UGM/Gloria)