
Agenda tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) belum sepenuhnya bisa terlaksana karena 17 agenda SGDs masih menjadi sebatas program rencana pembangunan. Belum optimalnya implementasi SDGs ini ditengarai karena belum adanya kebijakan yang kuat secara nasional serta dukungan anggaran, baik di tingkat pusat dan daerah serta belum ada sinkronisasi konsep pembangunan SDGs antar kementerian. Oleh karena itu, dukungan swasta dan masyarakat diperlukan untuk implementasi pembangunan SDGs. Hal itu mengemuka dalam konferensi internasional yang bertajuk Regional and National Approaches Toward the Sustainable Developmemt Goals in Southeast Asia and Asean yang berlangsung di Fisipol UGM, Rabu (4/10).
Seperti diketahui, terdapat 17 tujuan pembangunan SDGs, yakni tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kesehatan yang baik, pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, air bersih dan sanitasi, energi bersih dan terjangkau, pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang layak, mengurangi kesenjangan. Selanjutnya, industri, inovasi dan infrastruktur, keberlanjutan kota dan komunitas, konsumsi dan produksi bertanggungjawb, aksi terhadp iklim, kehidupan di bawah laut, kehidupan di darat, institusi peradilan yang kuat dan kedamaian, dan kemitraan untuk mencapai tujuan.
Konferensi yang diprakarsai Pusat Studi ASEAN, Fisipol, Universitas Gadjah Mada dan Pusat Penelitian untuk Asia Tenggara dan ASEAN, Universitas Groningen, Belanda, membahas pendekatan regional dan nasional terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan di Asia Tenggara dan ASEAN. Konferensi ini juga dihadiri pakar hubungan internasional dari perwakilan negara Asia dan Asean lainnya, seperti Filipina, Thailand, Malaysia dan Taiwan.
Dosen Hubungan Internasional sekaligus Direktur ASEAN Studies Center, Fisipol UGM, Dr. Dafri Agussalim, MA., mengatakan agenda SDGs yang belum terlaksana di Indonesia adalah pengelolaan akses air bersih, keseteraan gender dan pengelolaan ekosistem laut dan darat yang dinilainya masih sangat lemah. “Dari 17 agenda SDGs, soal air bersih, gender equality dan pembangunan ekosistem laut dan darat belum tercapai,” katanya.
Sementara penerapan SDGs di lingkungan Asia Tenggara, menurut Dafri, kendala yang dihadapi antar negara berbeda satu sama lain. Ia menyebutkan Filipina menghadapi persoalan penegakkan HAM dengan adanya upaya pemberantasan narkoba. Selain itu, beberapa negara di Asia Tenggara menghadapi situasi proses demokratisasi yang belum berjalan dengan baik. “Saya kira pengalaman proses demokratisasi yang berjalan di Indonesia bisa ditularkan pada negara tetangga kita yang lain,” paparnya.
Meski begitu, imbuh Dafri, agenda SGDs soal pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas pendidikan serta pelaksanan good governance juga menjadi kendala utama yang sama-sama dihadapi masing-masing negara di Asia. Oleh karena itu, diperlukan komitmen pemerintah lewat rencana aksi program serta dukungan anggaran yang kuat dalam pelaksanaan 17 program SDGs tersebut. “Saya kira pemerintah banyak mengklaim, namun belum didukung perencanaan dan anggaran. Meski pusat memiliki komitmen, namun di tingkat daerah masih banyak yang belum jalan,” katanya.
Prof. Ronald Holzhacker, peneliti Pusat Studi Asia Tenggara dari Groningen University, mengatakan koordinator pelaksanaan SDGs di Indonesia dilaksanakan oleh Bappenas. Berbeda dengan Malaysia yang memiliki unit khusus di bawah koordinasi perdana menteri yang menangani soal kebijakan SDGs. Namun, untuk pencapaian SDGs, menurutnya, memerlukan dukungan dan partisipasi dari swasta dan masyarakat sipil. “Swasta dan masyrakat sipil harus dilibatkan,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)