Rektor UGM, Prof. Ir.Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., menerima kunjungan perwakilan tokoh adat dari enam desa di Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timur Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Jumat (22/9). Sebanyak 9 orang pemuka adat dari desa Lelobatan, Fatumnasi, Nefokoko, Fatukoko, Ajaobaki dan Tune selama ini telah mengikuti program sekolah budaya yang dikembangkan di UGM di daerah tersebut selama tiga tahun terakhir. Kepada Rektor UGM, perwakilan tokoh adat ini menyampaikan keinginan agar program sekolah budaya terus berjalan karena dinilai berhasil mengangkat kembali tradisi budaya suku Mollo yang selama ini sudah ditinggalkan.
Markus Lakke, 65 tahun, tokoh adat dari desa Nefokoko, mengatakan nilai-nilai budaya Mollo selama ini memang tidak pernah dilestarikan kembali bahkan hampir hilang. Namun, kedatangan tim dari UGM lewat konsep sekolah budaya berhasil memotivasi masyarakat mengangkat kembali nilai-nilai seni dan budaya mereka. “UGM telah membantu kami menggali dan memelihara tradisi yang hampir punah,”katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Arid Oematan, 33 tahun dari Desa Tune. Menurutnya, sejak sekolah budaya, pemerintah desanya sudah berani mengalokasikan dana untuk kegiatan budaya. “Sudah ada yang dibelikan alat kesenian yang diambil dari program dana desa,”ujarnya.
Tidak hanya itu, kata Arid, saat ini pemerintah juga memiliki program pengenalan kesenian tradisional seperti tari giring-giring atau tari penyambutan perang yang dikenalkan pada anak-anak sejak dini. “Kita ajarkan lewat pendidikan PAUD,”katanya.
Seperti diketahui, Program Sekolah Budaya merupakan upaya mengangkat kembali budaya tradisional sekaligus menawarkan konsep resolusi konflik dan menjaga kelestarian alam lewat penguatan budaya dan hukum adat. Salah satu inisiator Sekolah Budaya Dr. Muhadi Sugiono, menuturkan awalnya kedatangan mereka ke daerah Mollo Utara untuk melakukan riset tentang peran perempuan dalam resolusi konflik saat terjadinya konflik penolakan penambangan marmer di lokasi pegunungan Fatunausus yang selama ini dijadikan tempat sakral bagi masyarakat Mollo. “Saat kita berinteraksi ke masyarakat, mereka memiliki kekhawatiran jika penambang akan kembali datang lagi lalu khawatir tradisi adat mereka akan punah, lalu mengharapkan UGM bisa mencarikan solusinya. Lalu ide sekolah budaya,muncul,” ujar Muhadi.
Muhadi mengatakan persoalan konflik pertambangan yang terjadi di daerah Mollo, menurutnya, disebabkan ketidaktahuan pemerintah terhadap nilai-nilai tradisi masyarakat setempat yang begitu menghargai keberadaan gunung yang sering dijadikan simbol asal usul nama marga. “Bayangkan, pemerintah bisa mengizinkan penambangan, lokasi tambang batu marmer merupakan sumber nama marga penduduk,”kata Muhadi.
Meski baru enam desa yang dilibatkan dalam sekolah budaya, Muhadi berharap kegiatan ini bisa menggerakan 12 desa yang lainnya di Kecamatan Mollo Utara. Selain itu, sekolah budaya juga bisa mejadi model dalam pengembangan seni dan budaya serta menginisiasi terbentuknya desa adat.
Rektor UGM menyampaikan apresiasi kepada tim peneliti yang selama tiga tahun mendampingi langsung masyarakat setempat. Kepada para pemuka adat, Rektor berjanji akan meneruskan program sekolah budaya bahkan mengirim mahasiswa dalam kegiatan KKN PPM. “UGM akan terus membantu agar bisa melestarikan adat dan budaya, tidak akan berhenti sampai di sini, ke depan akan diusahakan kita kirim mahasiswa setiap tahun,”katanya.
Program yang selama ini sudah berjalan bisa memberikan manfaat bagi masyarakat Mollo dan sekitarnya. “Mudah-mudahan daerah Timor lekas maju dan modern tapi tetap berpegang pada prinsip akar budaya yang semakin kuat dan tidak hilang ditelan kemajuan zaman,”pesannya.
Kecamatan Mollo Utara nerupakan daerah dataran tinggi dengan ketinggian hampir 2.500 meter di atas permukaan laut. Dikelilingi perbukitan dengan bentang alam yang curam dan hutan rimba serta lokasinya yang terpencil, daerah ini masih minim fasilitas infrastruktur seperti jalan dan jembatan bahkan ada beberapa desa yang belum dialiri listrik. Mata pencaharian masyarakat umumnya sebagai petani jagung dan umbi-umbian. Keinginan kuat mereka ingin mempertahankan budaya dan menjaga tradisi serta menjaga sumber kekayaan alam patut diapresiasi. (Humas UGM/Gusti Grehenson;foto: Firsto)