
Preeklamsia masih menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal yang paling sering terjadi. Meski demikian, pada dekade terakhir ini patogenesis preeklamsia masih belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Salah satu pakar yang meneliti mengenai topik ini adalah dosen Fakultas Kedokteran UGM, Dr. dr. Diah Rumekti Hadiati, M.Sc, Sp.OG(K).
“Angka kejadian preeklamsia di Indonesia berkisar antara 3-10% dari seluruh kehamilan. Di RSUP Dr. Sardjito, angka kematian ibu karena preeklamsia-eklamsia adalah sebesar 34,09%. Menurut laporan di beberapa rumah sakit di Indonesia, preeklamsia telah menggeser pendarahan dan infeksi sebagai penyebab utama kematian ibu,” ujar dr. Diah saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Kamis (7/9) di Auditorium Fakultas Kedokteran UGM.
Diah menjelaskan, preeklamsia merupakan penyakit spesifik kehamilan yang ditandai dengan hipertensi dan proteinuria, terkadang berkembang menimbulkan gangguan multiorgan dengan berbagai gejala klinis. Penyakit ini berhubungan dengan intrauterine growth retardation, aktivasi sistem imun kronis, dan disfungsi endotel multiorgan yang menyebabkan adanya peningkatan tekanan darah maternal.
Dalam ujian terbuka ini, Diah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Perbedaan Ekspresi Protein Bcl-2 Family sebagai Regulator Aktivitas Caspase Trofoblas pada Kehamilan dengan Preeklamsia dibandingkan dengan Kehamilan Normotensi.”
“Tujuan penelitian ini adalah membandingkan ekspresi protein proapoptosis dan protein antiapoptosis pada sel trofoblas plasenta dari kehamilan dengan preeklamsia berat dengan kehamilan normotensi,” kata Diah.
Perkembangan plasenta, lanjutnya, bergantung pada pelekatan dan invasi efektif trofoblas di desidua maternal. Pada kehamilan normal, apoptosis trofoblas akan meningkat seiring dengan pertumbuhan plasenta dan kemajuan kehamilan. Apoptosis juga dapat meningkat pada kondisi ibu dengan komplikasi kehamilan, mola hidatidosa, preeklamsia, dan pertumbuhan janin terhambat.
“Hasil kebaruan dalam penelitian ini adalah bahwa di antara protein Bcl-2 family, protein Bcl-xL memiliki peran yang paling besar dalam kejadian preeklamsia berat. Hal ini konsisten dan tidak dipengaruhi oleh paritas dan usia kehamilan subjek penelitian,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyimpulkan bahwa ekspresi stimulator apoptosis (Bax) pada preeklamsia lebih tinggi dibandingkan kehamilan normal, sedangkan ekspresi protein Bak tidak memiliki perbedaan bermakna, juga bahwa ekspresi inhibitor apoptosis pada preeklamsia lebih rendah dibandingkan kehamilan normal.
Penelitian yang ia lakukan ini, tutur Diah, membuka peluang untuk penelitian lebih lanjut ke arah pengembangan imunoterapi pada preeklamsia. Untuk lebih menjelaskan mekanisme penyebab preeklamsia, ia berharap penelitian dengan model pada binatang percobaan dapat dikembangkan dalam waktu dekat sehingga mempercepat pengembangan penelitian ke arah penyebab dan terapi preeklamsia.
“Diharapkan dengan hasil ini, terapi preeklamsia, sebuah penyakit yang hingga saat ini masih dianggap sebagai disease of theory, berupa zat yang meningkatkan aktivitas protein antiapoptosis dapat dikembangkan. Dengan demikian, preeklamsia mungkin dapat diobati di masa mendatang,” tutur Diah. (Humas UGM/Gloria)