Beberapa orang peneliti dari Universitas Gadjah Mada mengembangkan program sekolah budaya untuk mengangkat kembali budaya tradisional sekaligus menawarkan konsep resolusi konflik dan menjaga kelestarian alam lewat penguatan budaya dan hukum adat. Praktik sekolah budaya ini diterapkan di enam desa di kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Antropolog UGM Dr. Lono Simatupang mengatakan sekolah budaya merupakan konsep yang lahir dari ide masyarakat Mollo setelah pihaknya melakukan pendampingan di bawah kegiatan Community Resilience and Economic Development (CaRED) UGM. “Metode yang kita lakukan dengan mengikusertakan perempuan, lembaga pemangku adat, pemerintah desa dan anak muda dalam sekolah budaya ini,” kata Lono usai bertemu dengan para pemangku adat di Desa Lelobatan dan Desa Tune, Mollo Utara, Minggu (27/8).
Lono mengatakan ia bersama dengan Dr. Muhadi Sugiono, Dosen Hubungan internasional, Fisipol UGM, awalnya hanya tertarik melakukan riset tentang peran perempuan dalam resolusi konflik saat terjadinya konflik penolakan penambangan marmer di lokasi pegunungan Fatunausus yang selama ini dijadikan tempat sakral bagi masyarakat Mollo. “Waktu itu kekuatan perempuan berhasil mengusir penambang, kekuatan mereka untuk mengusir penambang lewat jalur budaya, setelah kita masuk untuk meminimalisir agar tidak ada konflik baru, muncullah ide tentang sekolah budaya ini,”paparnya.
Dari konsep sekolah budaya ini menurut Lono, masyarakat Mollo diajak memperkuat kembali tradisi budaya mereka. Bahkan seni dan budaya tradisional yang selama ini ditinggalkan akhirnya digiatkan kembali seperti tari giring-giring (tarian perang) dan seni musik tradisional Heo-Bijol.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Muhadi Sugiono, mengatakan sekolah budaya yang melibatkan peran para tokoh pemangku adat, kaum perempuan, anak muda dan aparat pemerintah desa untuk memikirkan pelestarian budaya ternyata juga mampu menggali kembali akar tradisi dan nilai-nilai luhur budaya mereka untuk dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak heran, kata Muhadi, setelah kurang lebih tiga tahun masyarakat menaruh harapan besar bisa mempertahankan kelangsungan adat mereka sekaligus bisa menjaga kelestarian alam dan sumber mata airt. “Mereka berharap sekolah budaya ini mampu terus memperkuat adat budayanya meski sebetulnya dari mereka sendiri yang bisa melakukannya,” katanya.
Tidak hanya cukup sampai di situ, tambahnya, munculnya asumsi awal bahwa pasca penambangan marmer di gunung Fatunausus 2002 lalu bisa melahirkan kembali konflik baru karena masih adanya kelompok yang saling berkepentingan pada penambangan tersebut ternyata mampu diminimalisir lewat kegiatan budaya karena program sekolah budaya mampu menjaga kebersamaan dan kerukunan antar lapisan masyarakat. “Bagi kita sekolah budaya menjadi ajang resolusi konflik,” katanya.
Imanuel salisi, Kepala Desa Nefokoko, mengatakan sekolah budaya yang dirintis oleh UGM mampu mengairahkan kembali kehidupan seni budaya yang ada di Mollo. Hal senada juga disampaikan Kepala Desa Lelobatan, Bora Bullu, mengatakan ide menguatkan kembali budaya menjadi faktor pendorong bagi pemangku adat untuk mengenalkan budaya leluhur Mollo pada generasi muda dan anak-anak. “Saya melihat adat istiadat kita begitu kental tapi hampir punah, UGM seolah membangunkan kami agar sadar tentang hal ini,”paparnya.
Honi Ombaya Kasse, 45 tahun, tokoh perempuan dari Desa Lelobatan, mengatakan meski mayoritas masyarakat Mollo hidup dalam kondisi miskin namun keinginan untuk mempertahankan budaya begitu kuat. “Nenek moyang kami sejak dulu memiliki nilai-nilai budaya yang kuat, sekarang kita bersama UGM dituntun untuk mempertahankan nilai budaya yang luhur itu,” katanya.
Markus Lakke, 65 tahun, tokoh adat dari desa Nefokoko, mengakui bahwa selama ini masyarakat Mollo memiliki nilai-nilai budaya yang tinggi namun tidak pernah dilestarikan. Bukan hanya sekedar budaya kesenian, imbuhnya, ada nilai-nilai budaya luhur adat ketimuran tentang etika dan kesopanan yang perlu digali kembali dari masyarakat Mollo. “Adat itu bagi saya sopan santun. Karenanya Sekolah budaya harus berjalan meski ada kemajuan teknologi, anak muda juga harus tetap belajar agar generasi mendatang bisa meneruskan dan mempertahankannya,”katanya.
Ia menambahkan, budaya orang Mollo itu dikenal meletarikan kekayaan alam. Ia menceritakan budaya Mollo menghargai tanah lahan sebagai tempat bercocok tanam sebagai sumber mata pencaharian, apabila tanah dan air dihargai dan dijaga kelestarian sebagaimana mestinya maka akan memberikan hasil bumi yang melimpah.
Primus Lake, M.Si., pemerhati budaya dari Universitas Nusa Cendana, Kupang, mengatakan konsep sekolah budaya yang ditawarkan oleh UGM berpotensi sebagai upaya untuk merintis pengembangan desa adat di kecamatan Mollo. Dikatakan Primus, desa adat merupakan unit pemerintahan terkecil dikelola oleh masyarakat adat dan mempunyai hak untuk mengurus ulayatnya secara mandiri.”Sekolah budaya menurut saya bisa menjadi pintu untuk menuju desa adat itu,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)