Setiap keluarga pasti memiliki permasalahan. Namun, apabila cara yang digunakan untuk berinteraksi antar anggota keluarga dan menyelesaikan masalah itu tidak sehat maka dapat menyebabkan disfungsi pada keluarga. Disfungsi pada keluarga berhubungan erat dengan “toxic relationship” yang dapat terjadi pada keluarga. Untuk menghindari hal tersebut, penting bagi kita untuk mengenali apa itu “Toxic Relationship” dalam keluarga dan pencegahannya.
Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog Center For Publich Health, Fakultas Psikologi UGM, memaparkan lima masalah terbesar dalam keluarga yaitu salah satu pihak merasa bertanggung jawab atas masalah yang ada di dalam keluarga (atau sebaliknya), berusaha keras untuk menghindari konflik dengan anggota keluarga, memiliki ide yang berbeda tentang cara terbaik untuk menyelesaikan perselisihan, beberapa perbedaan tidak pernah terselesaikan, dan memiliki perselisihan serius tentang masalah yang tidak penting.
Sedangkan keluarga disfungsional adalah suatu kondisi dimana konflik, perilaku yang menyimpang pada anggota keluarga terjadi secara terus-menerus dan merugikan anggota lain dari tindakan tersebut.
“Keluarga disfungsional adalah keluarga yang tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya, dapat diartikan adanya pertentangan antara individu dalam keluarga yang menyebabkan hubungan antar anggota keluarga tidak harmonis,” papar Nurul pada Jumat, (15/7) dalam Kuliah Online CPMH Fakultas Psikologi.
Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog menambahkan untuk menghindari toxic relationship dalam keluarga kita harus membangun relasi positif antar anggota keluarga. Selain itu, membangun relasi positif diperlukan agar keluarga dapat berfungsi dan mengatasi krisis.
Membangun relasi yang positif menurut Wirda dapat dilakukan dengan membangun ketangguhan pada keluarga dan membangun kekuatan komunitas. Enam hal yang dapat mendeskripsikan ketangguhan keluarga adalah pertama memberikan apresiasi dan kasih sayang. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan satu sama lain antar anggota keluarga, membangun suasana yang bersahabat, berusaha menunjukkan penghargaan atau penghormatan pada setiap keluarga, dan dapat menggunakan humor dalam interaksi sehari-hari. Kedua adalah komunikasi positif yang dapat diupayakan dengan memberikan apresiasi sekecil apapun itu (memberikan pujian dan mengucapkan terimakasih), berbagi perasaan yang sedang dirasakan dan menahan diri untuk saling menyalahkan.
Ketiga, komitmen pada keluarga yang terkait dengan kepercayaan, kejujuran, bertanggung jawab dengan peran yang dimiliki, dan kesediaan untuk berbagi satu sama lain antar anggota keluarga. Keempat, mengupayakan rasa kesejahteraan spiritual dan nilai-nilai bersama dalam keluarga. Kelima, menikmati waktu bersama anggota keluarga untuk berbagi kesenangan, kesibukan ataupun hal lain. Terakhir, kemampuan mengelola stres dan krisis secara efektif, memiliki keterbukaan terhadap perubahan, dan memiliki resiliensi.
Wirda menyampaikan bahwa jika sudah ada relasi yang bersifat negatif dalam keluarga, kita dapat memperbaikinya dengan pendekatan strategi resolusi konflik.
Pendekatan ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi pola hubungan atau relasi yang ada di dalam keluarga. Apakah keluarga bersifat cenderung mempunyai kritik yang tinggi, demanding, tidak terdapat komunikasi, atau sebagainya. Kedua, berkomunikasi dengan mengklarifikasi masalah yang relavan, berbagi pemikiran, dan berbicara tentang solusi.
“Dalam berkomunikasi kita juga membutuhkan strategi-strategi, misalnya dapat menuliskan pemikiran kita atau dapat memutuskan untuk melakukan percakapan pada waktu dan tempat tertentu. Kemudian, kita juga bisa menggunakan humor,” papar Wirda.
Sikap yang diperlukan dalam penyelesaian konflik adalah jujur dan terbuka, menghargai dan menghormati, saling memaafkan, membantu satu sama lain, dan sabar terhadap prosesnya. Jika konflik dalam keluarga tidak dapat diselesaikan, kita bisa menjangkau atau mencari bantuan pihak lain.
Penulis: Desy