Rendahnya cakupan sumber air minum lain, seperti air ledeng, air permukaan dan air tanah menjadikan tingginya pemanfaatan air hujan sebagai sumber air minum. Di Pontianak, Kalimantan Barat, kuantitas air hujan ini cukup melimpah dan kualitasnya relatif memenuhi syarat kesehatan.
Dikatakan berkualitas karena secara fisik, kimiawi maupun mikrobiologis relatif memenuhi syarat dibanding dengan sumber air permukaan dan air tanah. Terlebih di saat musim kemarau maka pelayanan PDAM Kota Pontianak dan kabupaten Kubu Raya secara kuantitas dan kualitas terbatas dan air mengandung kadar garam yang tinggi.
“Besarnya kebiasaan pemanfaatan air hujan tersebut, didukung keadaan wilayah Kalimantan Barat, yang beriklim tropis dengan kelembaban dan curah hujan yang tinggi,” ujar Khayan, SKM., M.Kes, Direktur Politeknik Kesehatan Pontianak, di Fakultas Kedokteran UGM, Selasa (11/7) saat menempuh ujian terbuka Program Doktor.
Hasil pengamatan dari seluruh kabupaten dan kota di Propinsi Kalimantan Barat rata-rata hari hujan dan curah hujan setiap bulan cukup tinggi. Di Pontianak mencapai 29 hari/ bulan, dengan curah hujan rata-rata 383,04 mm/bln. Curah hujan tertinggi pada bulan Desember mencapai 445,4 mm/bln dan terendah bulan Juni sebesar 128,1 mm/bln.
Sayangnya, kata Khayan, pemanfaatan air hujan sebagai sumber air minum tersebut melalui atap rumah dari seng sebelum masuk kedalam bak penampungan. Sementara Pb yang berfungsi memperkuat ikatan lapisan seng turut larut bersama air hujan dan masuk dalam bak penampungan.
Pemaparan Pb pada air hujan ini, menurut Khayan, berdampak pada kesehatan masyarakat. Dampak pencemaran Pb, diantaranya menimbulkan gangguan enzim dalam tubuh, anemia, gangguan jiwa, menurunkan intelegensia (iQ) dan hyperactivity pada anak-anak.
“Juga berdampak pada Berat Bayi lahir Rendah (BBLR) dan prematur serta meningkatkan tekanan darah tinggi pada orang dewasa. Di dalam tubuh, Pb bersifat kumulatif pada tulang dan pada waktu jangka panjang, sekitar 25 tahun menimbulkan keracunan kronis. Kondisi inipun diperberat dengan pemaparan Pb yang berasal dari industri, emisi kendaraan bermotor dan pembakaran lahan pertanian (gambut),” paparnya.
Khayan mengungkapkan hampir 90 persen masyarakat di Kalimantan Barat menggunakan atap rumah dari seng. Sementara dalam proses pembuatan lembaran atap seng, dipergunakan Pb (timah hitam) yang berfungsi memperkuat ikatan lapisan seng untuk mencegah dan mengurangi korosi.
Mengingat air hujan bersifat korosif karena mengandung CO² agresif dan pH yang rendah sekitar 5,40 menyebabkan atap seng mudah berkarat. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan Pb yang dilapiskan ikut terlarut dalam air hujan sehingga meningkatkan kandungan Pb pada bak penampungan air hujan.
Hasil penelitian Khayan memperlihatkan rerata kadar Pb air hujan yang ditampung melalui atap rumah seng pada saat hujan di Desa mulyo Kec. sei Raya Kubu Raya sebesar 0,0129 mg/l (129 ug/l). Sedangkan air hujan yang ditampung langsung tanpa melalui atap seng Pb lebih rendah yaitu 0,0022 mg/l (2,2 ug/l).
“Kandungan Pb pada air hujan yang ditampung melalui atap seng tersebut diatas ambang batas Permenkes RI dan WHO, karena kadar yang diperbolehkan dalam air minum 0,01 mg/l (10ug/l),” katanya saat mempertahankan disertasi Pengaturan Waktu Penampungan, Penyaringan dan Paparan Plumbum (Pb) Pada Air hujan Kaitannya Dengan Kesehatan Masyarakat di Pontianak.
Karena itu, untuk masyarakat Pontianak dan Kubu Raya, menurut saran Khayan, sebaiknya dalam memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minum perlu melakukan pengolahan terlebih dahulu, baik yang ditampung langsung maupun yang melalui atap rumah dari seng. Hal ini perlu dilakukan karena kandungan Pb dan tingkat kekeruhan serta pH air hujan yang ditampung langsung maupun melalui atap seng sudah melebih ambang batas.
“Untuk itu disarankan dalam pengolahan, misalnya dengan pengaturan waktu penampungan atau dengan teknologi tepat guna,” paparnya. (Humas UGM/ Agung)