Namanya Alza Nashua Shahira, usia 18 Tahun. Ia akrab dipanggil Alza. Dia anak bungsu dari dua bersaudara. Ia tinggal di Kelurahan Sidoharjo, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Ia terlahir dari keluarga kurang mampu. Ayahnya Ismanto (57) bekerja sebagai tukang serabutan dan pengumpul barang rongsokan. Begitu pun ibunya, Purwati (54) juga membantu mengumpulkan barang bekas di sekitar kota Pacitan.
Meski terlahir dari keluarga kurang mampu, namun Alza memiliki bakat dalam bidang olahraga catur. Sejak SD ia pernah menyabet juara tingkat provinsi dan nasional. Berbagai kejuaraan catur tingkat provinsi dan nasional dalam catur berlanjut hingga di bangku SMA. Terhitung ada 38 piagam dan 17 medali yang telah dikumpulkan. Medali-medali tersebut terpajang rapi di dinding ruang tamu rumahnya. Berkat kemampuannya dalam olahraga catur ini ia mendapatkan beasiswa dari pemerintah Kabupaten Pacitan. Bahkan di bangku SMA ia diberi beasiswa oleh pemkab hingga lulus serta bonus sebagai atlet berprestasi Pacitan sebesar Rp20 Juta.
Kendati memiliki kemampuan dalam olahraga catur, namun Alza tidak melupakan kegiatan akademik. Padahal, setiap malam ia latihan catur hingga 2-3 jam di sebuah klub catur di bawah binaan Percasi Pacitan. Alza tetap menyiasati waktu belajar di rumah setelah pulang dari latihan. Meski sering langganan juara catur, Alza tetap juara kelas. Sejak di bangku sekolah dasar, ia selalu berada di ranking tiga besar. Bahkan, di SMA ia selalu mendapat rangking satu. “Hanya di SMP nggak ranking, mungkin kebanyakan latihan catur,” kata Alza yang mengaku tidak ada hari tanpa latihan catur baik di rumah maupun di lokasi klub catur, Kamis (15/7).
Saat pendaftaran jalur SNMPTN tahun ini, Alza memilih untuk kuliah di UGM. Sebelumnya ia meminta persetujuan dari kedua orang tuanya jika ia ingin mendaftar di prodi ilmu ekonomi FEB UGM. Bahkan, prodi itu satu-satunya yang ia pilih. “Sejak dulu sukanya dengan ilmu ekonomi,” katanya.
Remaja putri dengan rambut panjang sebahu ini mengaku bangga bisa diterima kuliah di UGM. Padahal, awalnya ibunya sedikit keberatan jika ia harus kuliah di luar kota Pacitan karena pertimbangan faktor ekonomi keluarga yang hanya mampu mengumpulkan uang RP1,5 juta per bulan dari gaji sebagai buruh tukang dan pengumpul barang rongsokan. Namun, Alza meyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia juga mendaftar Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Jika ia lolos, kata Alza, ayah dan ibunya tidak perlu khawatir soal biaya kuliah maupun biaya hidup karena bantuan tersebut juga mendapat uang saku.
“Nggak kebayang bisa masuk ke UGM. Nanti kan temannya lebih pintar dan wawasan lebih luas, semoga saya lebih baik lagi nantinya,” harapnya.
Dengan mata berkaca-kaca, Ismanto, mengaku senang dan bangga putrinya bisa kuliah. Ia tidak menyangka bisa menghantarkan Alza ke bangku perguruan tinggi. “Saya ini syukurnya tak terhingga. Dulu kata orang, kalau nggak ada duit nggak bisa sekolah, namun anak saya membuktikan itu salah. Kekurangan duit justru bisa sekolah sesuai dengan kemampuan dia,” katanya.
Ismanto masih mengenang, saat pengumuman kelulusan. Sore itu ia baru pulang dari kerja. Ia tahu hari itu bahwa Alza tengah menunggu pengumuman kelulusannya di jalur SNMPTN. Sesampainya di rumah menjelang petang, Ia melihat Alza berlari memeluknya. “Saya tahu, ia lulus. Karena (raut) mukanya senang, begitu juga dengan istri saya,” kata Ismanto.
Begitu pun dengan Purwati. Menurutnya saat itu berdua dengan anaknya menunggu pengumuman kelulusan lewat internet yang dibuka di laptop kecil yang sering digunakan Alza untuk latihan catur online. “Mak aku tutup layarnya pakai sajadah ya, kalo centang biru berarti lulus. Kalau nggak, berarti nggak lulus. Saya sampai keluar ke depan rumah saking nggak mau lihat,” kata Purwati mengenang.
Sebagai orang tua, Ismanto dan Purwati tidak berharap banyak pada Alza. Bisa kuliah di UGM saja ia mengaku bersyukur. Namun ia berharap suatu saat nanti Alza bisa meningkatkan derajat kehidupan keluarganya yang selama ini dikenal dengan keluarga pengumpul rongsokan. “Saya ini hanya tamatan SMP, ibunya lulus SMA. Sejak kecil tidak pernah minta-minta lebih ke orang tuanya. Tahu keadaan orang tua,” katanya.
Alza mengaku nantinya akan aktif menekuni hobinya dalam bermain olahraga papan bidak tersebut. Apalagi di UGM memiliki Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Catur. “Tetap konsisten main catur, mungkin sudah terlanjur suka. Tapi ya nanti tetap fokus kuliah,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson