Selama memiliki niat dan kemauan untuk melakukan, keterbatasan tidak menjadi penghalang dalam meraih prestasi. Cara berpikir seperti itulah, yang diterapkan Galuh Kholifa Jati dalam mewujudkam impiannya untuk melanjutkan studi selepas lulus dari SMA Negeri I Praya, Lombok.
Galuh Kholifa Jati atau Galuh terlahir dari keluarga yang sederhana. Ayahnya, Muhammad Taufiq, seorang pekerja serabutan, sedangkan ibunya, Azizah, sehari-hari berjualan sembako di pasar Renteng, Praya Barat, Lombok.
Meski berada di tengah kehidupan yang sederhana, semangat belajar Galuh tak tumpul. Tak heran, prestasi akademiknya selalu terbaik. Tercatat dari kelas X, XI hingga XII selalu dua besar terpandai di kelasnya.
Atas prestasi tersebut, kini Galuh merasa lega karena bisa terus melanjutkan studi. Ia diterima di Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik UGM melalui jalur SNMPTN. Tidak hanya itu, ia pun akan menjalani kuliah dengan gratis karena mendapat beasiswa Bidik Misi.
“Saya bersyukur bisa diterima di UGM, Teknik Sipil. Ini pilihan pertama, pilihan kedua saya memilih Teknik Geologi,” ujar Galuh saat ditemui dirumahnya, di Dusun Batulajang, Desa Batujai, Praya Barat, Lombok.
Galuh mengaku ketekunan dan memilih teman menjadi kunci keberhasilan dalam belajar. Bukan berarti ia pilih-pilih teman, namun Galuh pun mengakui tidak mudah menemukan teman yang sejalan dalam mewujudkan keinginan.
Hal itu, ia temui saat bel pulang sekolah. Tidak banyak teman yang masih mau tinggal di sekolah untuk terus belajar. Terhitung hanya tiga atau empat teman yang belum pulang untuk meneruskan belajar secara berkelompok.
“Kadang pulangnya sampai sore karena memanfaatkan waktu yang efektif sama teman-teman sekolah. Jadi, ketika semua telah pada pulang sekolah kita tetap tinggal, belajar kelompok ini dimulai sejak kelas X, meski tidak setiap hari,” ucap dara kelahiran Praya, 19 Juli 1999.
Kata Galuh, suasana belajar kelompok akan ramai bila mendekati ujian semeter karena banyak teman yang minta untuk diajari. Bahkan, di hari Minggu pun dimanfaatkan untuk datang ke sekolah untuk belajar.
“Ini bukan karena guru tapi inisiatif sendiri. Dari sini saya bisa mengatakan teman memang menentukan, makanya harus pinter milih karena yang mau diajak tidak banyak”, katanya.
Meski tidak memiliki jadwal jam belajar tetap, Galuh langganan juara II saat duduk di kelas X, XI dan XII. Baginya belajar tidak harus mengikuti cara atau model orang orang lain, semua tergantung pada diri sendiri.
Menurut Galuh belajar harus mantap dengan cara-cara belajar sendiri karena tiap orang belum tentu bisa mengikuti atau menyesuaikan cara belajar orang lain.
“Belajarnya sih sebenarnya biasa-biasa saja. Tidak rajin juga, tapi kalau sudah belajar saya serius dan fokus, tidak pecah konsentrasinya. Pokoknya pikiran jangan kemana-mana harus fokus karena semua yang dilakukan untuk masa depan,” terangnya.
Entah kebetulan atau tidak, Galuh semenjak masuk SMA Negeri I Praya bertemu dan berteman dengan Alivia Arrohimin yang selalu juara I. Ia merasa beruntung karena bisa belajar bersama, berdiskusi dan saling curhat.
Hidup dalam kesederhanaan, Galuh tak mengeluh jika tiap hari hanya diberi uang 10 -15 ribu rupiah untuk ongkos angkot dan makan siang di sekolah. Ia pun tak malu-malu pinjam buku dari teman dan kakak-kakak kelas yang sudah lulus.
“Untuk pengayaan materi kadang pinjam buku, kadang beli, kadang baca di internet. Pinjam teman saling tukar, kalau bukunya mahal kadang fotokopi,” ujar Galuh sembari tersenyum.
Kini, sambil menunggu masa kuliah dimulai, Galuh seringkali ikut ibu ke pasar Renteng, Praya, Lombok. Baginya liburan seperti ini cukup menyenangkan, selain bisa bermain sekaligus membantu ibu berjualan sembako.
“Kebetulan puasa, meski bukan dari orang kaya dan bukan dari kaum terpelajar tidak harus rendah diri. Kita harus buktikan dan percaya diri pintar bisa datang darimana saja, tergantung kita sendiri,” tuturnya.
Muhammad Taufiq, ayah Galuh, tak henti-hentinya mengucap syukur. Ia merasa bersyukur karena di tengah keterbatasan ekonomi, Galuh bisa diterima kuliah di UGM.
Ia berharap Galuh bisa kuliah dengan lancar, tidak bosan, dan tidak berkeinginan pindah jurusan. Karena, menurut Muhammad Taufiq, program studi Teknik Sipil identik dengan pekerjaan di lapangan.
“Tapi dia ni keinginannya keras, dia pingin menjadi ahli konstruksi, padahal untuk itu kan banyak di lapangan. Karena saya tukang bangunan punya pengalaman untuk hal-hal ini. Andai Galuh laki-laki mungkin saya bebaskan,” ucap Taufiq.
Muhammad Taufiq saat ini tidak lagi menjadi tukang bangunan. Meski begitu, ia tidak berpangku tangan, ia kini manjadi buruh tani untuk tanaman padi dan palawija.
“Ya kalau panen dibagi dua sama pemilik, kebetulan masih saudara. Panen jika di rata-rata paling sekitar 1,5 juta per bulan, cukup tidak cukup,” katanya (Humas UGM/ Agung)