Berbagai bentuk aturan kearifan lingkungan yang dimiliki oleh masyarakat adat, seperti adanya berbagai macam pantangan, upacara-upacara adat, cerita-cerita rakyat, dan berbagai tradisi lainnya sesungguhnya mengungkap pesan-pesan budaya bagi proses pelestarian lingkungan hidup. Pada setiap daerah di Indonesia bentuk dan implementasi aturan kearifan tradisional sangat berbeda-beda.
Menurut Dendy Sofyandy, S. Hut., M.Sc, keanekaragaman bentuk kearifan tradisional ini merupakan kekayaan modal sosial budaya untuk peningkatan dan pengembangan kualitas sumberdaya manusia, pengelolaan lingkungan hidup, dan penguasaan teknologi ilmu pengetahuan. Merujuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 maka masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
“Kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia merupakan kekayaan budaya, baik berupa seni, teknologi, pengetahuan tradisional maupun nilai-nilai yang telah menjadi tradisi atau budaya masyarakat,” ujar Dendy Sofyandy, di Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (23/5) saat menempuh ujian terbuka Program Doktor Bidang Ilmu Lingkungan.
Manajer Papua Selatan, Program USAID-LESTARI tersebut dalam ujiannya mempertahankan disertasi berjudul Kearifan Lingkungan Masyarakat Adat Malind Anim Dalam Pelestarian Hutan di Kabupaten Merauke Provinsi Papua. Didampingi promotor, Prof. Dr. Su Rito Hardoyo, M.A dan ko-promotor, Prof. Dr. Sunarto, M.S, promovendus mengungkapkan masyarakat adat Malind Anim mengenal mitos yang bersifat totemistik, dan meyakini adanya hubungan yang erat antara keberadaan masyarakat sekarang dengan kehidupan satwa dan tumbuhan pada masa lampau.
“Secara harafiah ‘sar’ merupakan kegiatan yang dilakukan melalui ritual adat oleh marga tertentu atau gabungan beberapa marga. Tujuannya adalah untuk menutup atau melarang wilayah ulayat diambil hasil alamnya dalam jangka waktu tertentu,” katanya.
Di tengah program pengembangan kawasan pertanian melalui pembentukan Merauke Integrated Fond Energi Estate (MIFEE), menurut Dendy Sofyandy, keberadaan sistem “sar” memiliki arti yang sangat penting. Mengingat MIFEE yang didukung PP No 18 Tahun 2010 menempatkan swasta sebagai penyedia pangan menjadi bukti pemerintah berpihak pada swasta dibanding mendorong petani kecil untuk berkembang. Dengan potensi pembukaan lahan yang mencapai 1,8 juta ha diperkirakan akan menyerap 6 juta tenaga kerja.
“Hal ini tentu akan menyebabkan konflik ekologis dan sosial tingkat tinggi akibat perebutan sumberdaya alam, degradasi hutan, degradasi sanitasi lingkungan, kesempatan kerja masyarakat lokal dan pendatang, kecemburuan sosial, perbedaan upah regional antara warga dan masyarakat adat pemilik hak ulayat,” paparnya.
Karena itu, dalam pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan kearifan lingkungan sistem “sar”, menurut Dendy, alam sesungguhnya telah menyediakan segala kebutuhan. Yang diperlukan adalah peningkatan kapasitas dan pemberdayaan menuju masyarakat modern yang hidup serasi dengan alam di tengah kemajuan zaman dan aturan adat yang mengikat.
“Pola pembagian kepemilikan hak ulayat secara tradisional tentu dapat diadopsi dalam pengelolaan lingkungan, dan sangat membantu dalam memberikan kontribusi yang besar bagi perlindungan ekosistem dan keanekaragaman hayati, termasuk wilayah-wilayah hutan yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan ekonomi dan adat-istiadat masyarakat,” tandasnya. (Humas UGM/ Agung)