Tawuran terjadi di kawasan Babarsari, Jogja, Senin (4/7). Bentrokan di Kalurahan Caturtunggal, Kapanewon Depok, Sleman, DIY ini merupakan buntut dari kericuhan yang mengakibatkan perusakan tempat hiburan pada Sabtu (2/7) dini hari.
Berulang kali peristiwa semacam ini terjadi di Yogyakarta. Peristiwa seperti ini tentunya mengundang keprihatinan banyak pihak dan tidak dikehendaki masyarakat Yogyakarta yang dikenal sebagai Kota Pelajar.
Sosiolog Ekonomi Perkotaan UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto, S.Sos., M.Si., menilai bentrokan terakhir di Yogyakarta tersebut sebenarnya bukan persoalan keamanan tetapi kesannya menjadi persoalan keamanan karena rentetan peristiwa pada akhirnya memunculkan pengrusakan. Baginya Yogyakarta sesungguhnya kota yang sudah cukup kuat sebagai melting pot atau sebagai multi culture society.
“Artinya sebagai multi culture society sudah cukup kuat, cuma problemnya di ekonominya tidak inklusif,”ujarnya di Fisipol UGM, Selasa (5/7).
Kehidupan ekonomi yang bukan inklusif tetapi eksklusif menjadikan pekerjaan rumah bagi banyak pihak untuk merubah ekonomi eksklusif Yogyakarta menjadi ekonomi inklusif. Idealnya, ekonomi seharusnya mengikuti culture karena culture Yogyakarta sudah menerima perbedaan suku dan adat.
Derajad mengungkap dengan ekonomi Yogyakarta yang belum inklusif menjadikan pertumbuhan kota sedikit bermasalah. Pertumbuhan kota, dalam pandangannya, tidak berpijak pada culture yang ada di masyarakat.
“Justru yang kita lihat ekonomi di Yogyakarta kan sepertinya merespons perkembangan kota besar, padahal kalau kota-kota besar kan kehidupan ekonominya cenderung eksklusif,” ungkapnya.
Untuk itu, menurut Derajad, pengelolaan ekonomi di Yogya sudah seharusnya inklusi. Artinya pengelolaannya harus disepakati secara bersama. Adanya tempat-tempat hiburan, karaoke mestinya harus diikuti adanya ketentuan yang ditaati atau dijunjung tinggi sehingga jika kemudian terjadi konflik ada yang menjadi penengah.
“Perbedaan dengan Bali misalnya. Di Bali memiliki pecalang atau polisi adat. Meski tidak perlu seperti itu, tetapi setidaknya aparat pemerintah daerah mestinya cara berpikirnya sudah inklusi. Ini yang jadi masalah di Yogya, masyarakatnya sudah multi culture, inklusif tetapi bisnisnya belum inklusif. Bisnisnya masih as usual, ini yang harus dirubah,” terangnya.
Derajad menandaskan bisnis yang dikelola tidak mengikuti perkembangan masyarakat atau kesepakatan-kesepakatan yang ada di masyarakat. Sebagai kota pelajar mestinya tidak harus seperti kota-kota besar.
Yogyakarta sebenarnya butuh ketenangan dan fasilitas-fasilitas mahasiswa yang semestinya diperbanyak bukan fasilitas-fasilitas yang mengundang konflik. Regulasinya tidak harus seperti kota-kota besar lainnya.
“Wilayah Yogyakarta itu istimewa tetapi regulasinya tidak istimewa, regulasinya seperti perkembangan kota Jakarta, Surabaya dan lain-lain. Jadi kita ini tidak tumbuh istimewa seperti masyarakatnya, seperti kratonnya, jadi kita ini tumbuh seperti kota metropolis,” ucapnya.
Ia menambahkan regulasi yang ada di Yogyakarta mestinya harus terefleksi atau tercermin dari kondisi masyarakat. Ada poin-poin penting yang perlu untuk ditumbuhkan di Yogyakarta, misalnya soal jam belajar di Yogyakarta yang kini tidak berlaku lagi.
Soal jam belajar ini mestinya menjadi hal yang istimewa. Sayangnya jam belajar ini sudah tidak diikuti lagi karena kota terlanjur tumbuh seperti kota metropolis.
“Kedepan regulasi yang ada mestinya diadaptasikan dengan konsep istimewanya Yogyakarta. Kalau istimewa bagi pelajar adalah jam belajar maka harus diperhatikan. Meski kini tinggal jargon yang tertulis saja karena dalam prakteknya kemudian banyak pelajar atau mahasiswa berkeliaran di mal dan lain-lain. Ini kan memperlihatkan tarikan pertumbuhan kota Yogyakarta sebagai kota metropolis lebih besar,” paparnya.
Untuk bisnis-bisnis pendukung, Derajad memberi saran untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang multi culture. Semisal berkembangnya co-working space untuk mahasiswa dan pelajar.
Hal tersebut menurutnya cukup menarik karena Yogyakarta memberikan pertumbuhan cukup besar sehingga mengundang mahasiswa bisa belajar disana. Hal semacam itu tentunya sebagai pertumbuhan yang sesuai dengan Yogyakarta dengan sebutan kota pelajar.
“Tetapi kalau yang tumbuh kemudian adalah karaoke, hotel-hotel, apartemen kan tidak ada bedanya dengan Jakarta, Surabaya dan lain-lain,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Dans Media