
Longsor susulan terjadi kembali di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, pada Minggu (9/4). Selain risiko longsor susulan, bencana yang terjadi ini juga menyimpan potensi yang lebih parah akan terjadinya banjir bandang di wilayah sekitar lokasi bencana tanah longsor.
“Biasanya kalau sudah terjadi banyak longsor, selang beberapa saat kemudian disusul banjir bandang dan skala kematian bisa berlipat. Kami ingin menghindari kejadian banjir bandang ini. Ini tidak harus menjadi kebiasaan karena hal ini bisa dicegah,” ujar Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., dalam konferensi pers yang berlangsung Selasa (11/4) di Gedung Pusat UGM. Pada kesempatan itu, Rektor didampingi tim mitigasi bencana longsor lainnya, seperti Dr. Danang Sri Hadmoko, Dr. Hatma Suryatmojo, Dr. Ngadisih, serta Bagus Bestari Kamarullah.
Banjir bandang yang mengikuti bencana longsor, menurutnya, merupakan bencana yang sangat berbahaya karena mengandung endapan longsor berupa bebatuan dan pepohonan yang dapat menghancurkan pemukiman warga. Melihat kepada beberapa peristiwa banjir bandang yang pernah terjadi di Indonesia, ia mengidentifikasi beberapa gejala awal terjadinya banjir bandang, seperti bertambahnya ketinggian air sungai serta perubahan kondisi air menjadi lebih keruh dengan membawa muatan pasir dan kerikil.
“Menurut penuturan korban bencana sebelumnya, diceritakan bahwa saat berada di mulut sungai mereka melihat tiba-tiba air menjadi keruh, tidak lama kemudian muncul luapan yang dahsyat. Tanda-tanda ini harus diwaspadai bersama. Semoga peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi di Indonesia,” jelas Rektor UGM.
Seminggu sebelumnya, Rektor UGM yang memimpin tim mitigasi bencana longsor UGM di Banaran, Pulung, Ponorogo, Jawa Timur, ini langsung terjun ke lokasi bencana yang merenggut korban 28 orang tersebut dengan tujuan untuk mencari fakta riil di lapangan sekaligus mengetahui penyebab utama longsor tersebut. Tim yang berasal dari beberapa bidang ilmu ini melakukan analisis dan mitigasi terhadap kemungkinan terjadinya longsor susulan baik di lokasi kejadian atau pun wilayah lain di Ponorogo serta membantu pemetaan lokasi relokasi bagi warga yang terdampak bencana dengan menggunakan drone.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, Dwikorita menjelaskan bahwa karakteristik lereng di lokasi bencana dengan bentuk lurusan yang memotong memang menunjukkan gejala rawan bencana longsor dan hanya tinggal menunggu adanya proses yang memicu itu. Ia menyebutkan air hujan sebagai salah satu pemicu yang mengakibatkan terjadinya longsor di wilayah tersebut. Meski demikian, ia menekankan bahwa peristiwa longsor belum tentu terjadi langsung setelah turunnya hujan karena diperlukan proses bagi air hujan untuk meresap ke dalam tanah. Karena itu, ia mengingatkan agar warga yang tinggal di daerah rawan dapat mengurangi risiko terkena longsor dengan tidak langsung kembali ke daerah rawan longsor setelah terjadinya hujan.
“Tidak selalu begitu hujan terus langsung runtuh karena bisa saja longsornya baru terjadi beberapa jam sesudahnya. Karena itu, selesai hujan jangan langsung ramai-ramai kembali,” ujarnya.
Melihat fenomena tersebut ia menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap lereng-lereng yang rawan bencana, termasuk di lokasi yang baru saja mengalami longsor karena longsor yang berhenti di lahan miring masih mungkin untuk berlanjut dan mengalami longsor susulan.
“Siapa pun jangan sampai berada pada lokasi yang habis longsor, kecuali orang ahli yang memang sudah dilengkapi perlengkapan untuk menyelamatkan diri. Yang harus dilakukan adalah meningkatkan kewaspadaan. Saatnya mengalah dulu dengan alam, untuk sementara waktu meninggalkan tempat-tempat yang rawan,” papar Dwikorita.
Hal serupa juga disampaikan oleh salah satu anggota tim mitigasi bencana UGM, Bagus Bestari Kamarullah. Ia menyebutkan bahwa ketidaktahuan akan risiko yang dihadapi pasca peristiwa longsor sering kali memicu jatuhnya korban yang lebih besar.
“Bencana susulan sering kali berisiko untuk menelan korban lebih daripada bencana yang pertama. Karena pada saat bencana yang pertama masyarakat itu ingin menolong atau mencari keluarganya berkumpul di situ tanpa mengetahui barang kali ada risiko yang cukup besar,” ujarnya.
Karena itu, ia kembali menekankan pentingnya pemahaman akan risiko bencana serta kewaspadaan dari berbagai pihak yang terkait, baik dari masyarakat sekitar maupun dari para relawan atau petugas yang terlibat dalam proses evakuasi. (Humas UGM/Gloria;foto: Firsto-Bani)