
Polemik revisi Undang-Undang KPK terus bergulir. Penolakan yang keras dari masyarakat tidak menghentikan pembahasan revisi UU KPK oleh DPR. Revisi yang memuat pasal-pasal kontroversial disinyalir merupakan bagian dari upaya DPR untuk melemahkan KPK. Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, menuturkan upaya revisi UU KPK adalah langkah yang tidak perlu dilakukan.
“Pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK masih cukup efektif sehingga tidak perlu dilakukan revisi UU KPK. Upaya revisi UU KPK yang dilakukan pada saat ini akan berdampak sistematis terhadap melemahnya gerakan pemberantasan korupsi,” ujar Laode dalam seminar yang diadakan Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Senin (20/3) di University Club UGM.
Dalam seminar bertajuk “Menelusuri Peran dan Kinerja DPR dalam Pemberantasan Korupsi” Laode menyampaikan bahwa DPR perlu mendengarkan KPK untuk mengetahui apa yang dibutuhkan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi, bukan justru membatasi ruang gerak KPK untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Salah satu isu yang ia angkat adalah terkait pendapat-pendapat yang mempermasalahkan tindakan penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Tindakan ini, menurutnya, bukanlah menjadi sesuatu yang perlu dipermasalahkan, hanya perlu diatur secara khusus.
“Sebenarnya tidak masalah kalau kami izin ke pengadilan, tapi bagaimana kalau yang terlibat itu justru panitera atau hakim sendiri, pasti ada konflik kepentingan. Kalau kami menyadap itu berdasarkan pro justicia, bukan dilakukan sembarangan,” jelas Laode.
Selain itu, terkait peran DPR dalam pemberantasan korupsi, ia menekankan bahwa dalam pembahasan mengenai revisi UU KPK ini DPR sebagai lembaga legislatif perlu memperhatikan kepentingan serta aspirasi rakyat. DPR, menurutnya, memegang peranan strategis dalam pemberantaan korupsi dan sebaliknya juga harus bertanggungjawab kepada rakyat bila fungsinya digunakan justru untuk melemahkan pemberantasan korupsi.
“Kalau DPR membuat inisiasi yang bertentangan dengan keinginan rakyat, berarti mereka sedang menodai kepercayaan rakyat,” imbuhnya.
Sebelum mengakhiri sesinya, Laode pun mengajak publik untuk dapat mengawasi serta menolak tegas segala upaya yang dikemas dengan berbagai cara untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua PUKAT, Zainal Arifin Mochtar, menjelaskan bahwa akar persoalan ini salah satunya terletak pada kewenangan DPR yang terlalu besar dan luas sehingga memberikan ruang bagi kemungkinan penyelewengan.
“Kewenangan DPR pasca reformasi mengalami pembengkakan. Pendulum kekuasaan yang dulu ada di presiden kemudian ditarik ke DPR karena adanya trauma dengan persoalan pasca masa presiden Soeharto sehingga kini fungsi DPR tidak lagi hanya 3 tapi sudah bertambah 2 fungsi lagi,” paparnya.
Salah satu contoh yang ia sebutkan terkait fungsi pengawasan yang dijalankan oleh DPR. Fungsi ini, menurut Zainal, dimaknai dengan terlalu luas namun tanpa didukung dengan komitmen serta kemampuan yang mumpuni sehingga di beberapa kasus justru membuka peluang terjadinya pemerasan dan aksi suap-menyuap.
“Sekarang untuk jadi pejabat publik apa pun di negeri ini harus via DPR. Padahal, dalam sistem presidensial, DPR seharusnya diarahkan kepada presiden untuk mengawasi pelaksanaan wewenangnya, bukan malah mengawasi semua,” kata Zainal. (Humas UGM/Gloria)