Supply chain atau rantai pasok merupakan jaringan antara perusahaan dan pemasoknya untuk memproduksi dan mendistribusikan produk tertentu kepada pembeli akhir. Kegiatan supply chain perlu dijalankan secara efektif dan efisien, khususnya bagi perusahaan manufaktur melalui aliran barang, uang, dan informasi. Selebihnya supply chain juga dapat berperan dalam mendukung kelestarian alam dan ekosistemnya melalui desain ulang supply chain dengan model circular economy. Circular economy merupakan model industri baru yang berfokus pada reducing, reusing, dan recycling yang mengarah pada pengurangan konsumsi sumber daya primer dan produksi limbah.
Dari beberapa penelitian memperkirakan dalam 18 bulan ke depan sebanyak 70 persen pelaku usaha terbesar dari supply chain merencanakan investasi pada isu circular economy. Perkiraan ini tentu cukup menggembirakan sebab hingga tahun 2020, baru 12 persen perusahaan saja yang telah mengintegrasikan circular economy dalam strategi digital supply chain mereka.
Konsep circular economy bukan sesuatu yang baru. Hal ini merupakan pengembangan dan kombinasi dari strategi return dalam supply chain dengan konsep green logistics, dan kombinasi ini berusaha untuk selama mungkin menjaga material/produk berada di dalam jaringan supply chain dengan pemanfaatan yang efektif dan efisien.
“Konsep mengenai circular economy relatif belum banyak dikenal oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM menginisiasi webinar dengan topik Transisi Menuju Circular Economy,” ujar Ir. Ikaputra, M. Eng.,Ph. D, Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM, saat membuka webinar, Rabu (29/6).
Ia menyampaikan terdapat isu dan tantangan penting dalam merancang ulang supply chain tradisional menjadi circular supply chain. Oleh karena itu, menurutnya, tema webinar kali ini sangat relevan dengan Hari Bumi yang diperingati beberapa waktu yang lalu.
Ir. Bertha Maya Sopha, S.T., M.Sc., Ph.D., IPU, ASEAN Eng, selaku narasumber webinar menyampaikan kenapa bukan ekonomi linear tetapi circular economy, karena ekonomi circular diawali oleh bentuk kepedulian berbagai negara termasuk Indonesia yang cukup merasakan dampak dari hasil pembakaran bahan bakar fosil dan hasil pembakaran tersebut berdampak langsung pada iklim. Jika hal tersebut dibiarkan secara terus menerus tentu akan sangat membahayakan alam dan kehidupan selanjutnya.
“Karenanya Paris Climate Agreement tahun 2015 menyepakati untuk dapat membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat celcius,” ungkapnya.
Ia menjelaskan circular economy memberikan konsep pada bagaimana valuable resource yang hampir semuanya berasal dari alam dalam circular flow akan kembali ke alam. Sehingga tidak sepenuhnya akan menjadi sampah atau polusi, melainkan dapat digunakan kembali menjadi sesuatu yang bernilai dan berdaya guna tanpa harus mengambil sumber daya lainnya dari alam.
Beberapa konsep dalam circular economy adalah tidak hanya berfokus pada produk tetapi juga pada industri dan masyarakat. Menggunakan sumber daya selama mungkin, mengekstrak value maksimal saat digunakan, memulihkan dan membuat ulang produk dan material di akhir penggunaan. Selain itu dilakukan pendekatan regeneratif yang memungkinkan bisnis, masyarakat, dan lingkungan hidup berdampingan dan menghilangkan pemborosan serta penggunaan sumber daya yang tidak terbarukan.
“Manfaat lainnya adalah terkait dengan ketergantungan, efisiensi biaya bahan baku, dampak negatif terhadap lingkungan, peningkatan resiliensi dan keuntungan ekonomi, lingkungan, dan sosial,”katanya.
Sebagai tim ahli Pustral UGM dan pengajar pada Departemen Teknik Mesin dan Industri FT UGM, ia mengungkapkan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap transisi menuju circular economy agar berhasil yaitu teknologi dan infrastruktur, operasi dan pengelolaan supply chain, ekonomi (seperti biaya ekonomi, insentif, resiko investasi dan lain-lain), kebijakan dan regulasi, serta faktor sosial masyarakat terkait kesadaran masyarakat, partisipasi lokal dan sebagainya.
Sementara itu terkait beberapa strategi dalam masa transisi menuju circular economy, ia sebutkan diantaranya Retain Product Ownership (RTO), roduct Life Extension (PLE), dan Design for Recycling (DFR). Penerapan strategi tersebut bisa disesuaikan maupun dikombinasikan untuk dapat disesuaikan dengan kondisi dari wilayah masing-masing.
“Misalnya terkait dengan keterbatasan aksesbilitas dapat menggunakan strategi produk yang memiliki karakteristik masa pakai yang lama. Selain itu dapat menggunakan kombinasi misalnya perpaduan anatar PLE dan RPO atau PLE dan DFR dan sebagainya,”tuturnya.
Dalam kesempatan ini, Bertha juga menyampaikan sedikit kesiapan dalam penerapan circular economy terkait dengan mobil listrik. Kendaraan listrik (EV) tampaknya menjadi pilihan dan diperkirakan akan mencapai 130 juta pada tahun 2030. Bahwa dalam mobil listrik ada komponen baterei listrik, dan baterai kendaraan listrik ini telah menjadi aspek penting untuk dipertimbangkan karena kandungan daya sisa dan bahan langka seperti lithium, kobalt, dan nikel.
“Hal ini harus dipikirkan bersama oleh stakeholders terkait termasuk masyarakat, produsen, regulator, termasuk juga pendaur ulang,” ucapnya.
Penulis : Agung Nugroho