Protes atas syarat pencalonan presiden atau presidential threshold berupa kepemilikan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional seperti diatur di UU Pemilu terus bergulir. Bahkan salah satu akademisi, Rocky Gerung, meminta partai-partai politik menggugat ambang batas 20 persen tersebut ke Mahkamah Konstitusi demi demokrasi Indonesia.
Menurutnya seharusnya tidak ada presidential threshold dalam pencalonan presiden di pilpres. Melihat situasi yang terjadi, ia pun berkehendak membentuk gerakan Liga Boikot Pemilu (LBP) sebagai bentuk protes atas syarat pencalonan presiden.
Pakar politik Universitas Gadjah Mada, Dr. rer.pol. Mada Sukmajati, S.IP., MPP., menyatakan wacana soal ambang batas Presidential Treshold sudah lama berkembang. Bahkan banyak pihak beberapa kali melalui Mahkamah Konstitusi melakukan judicial review terkait UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Tetapi Mahkamah Konstitusi selalu saja menyampaikan jawaban bila legal standing terkait hal tersebut berada di Dewan Perwakilan Rakyat. Wewenang untuk membahas berada di DPR, lembaga yang memiliki ruang terbuka untuk menafsirkan.
“Hanya saja sejauh ini dari legal formal UU No 7 tahun 2017 nampaknya tidak akan direvisi atau diamandemen oleh fraksi-fraksi di DPR. Jadi yang menyoal permasalahan ambang batas ini adalah mereka yang utamanya berhitung bila kemungkinannya sangat tipis untuk berpartisipasi dalam Pilpres,” ujarnya di Fisipol UGM, Jumat (24/6).
Mada pun sependapat dengan apa yang menjadi keputusan Mahkamah Konstitusi selama ini. Pembahasan terkait ambang batas syarat pencalonan presiden memang pada akhirnya berada di wilayah DPR.
Artinya pembahasan hal tersebut akan sangat tergantung interaksi diantara fraksi-fraksi diantara partai-partai politik di Senayan. Sepanjang tidak ada kekuatan politik yang dominan di DPR maka bisa diperkirakan wacana soal ambang batas hanya berkembang di luar dan tidak akan bisa merubah secara definitif dari regulasi yang ada.
“Tidak setuju 20 persen, lantas maunya berapa persen, 15, 10, 5 atau malah 0 persen. Kalau misalnya 0 persen atau 15 persen argumentasinya apa? Konsekuensinya apa? Itu juga harus dihitung,” ucapnya.
Disebutnya jika beberapa pihak bahkan mendorong hingga 0 persen tentu akan menimbulkan konsekuensi. Salah satu konsekuensi adalah bersifat teknis karena semua orang akhirnya bisa mencalonkan diri menjadi presiden.
“Saya kira secara teknis itu akan menimbulkan problem yang sangat kompleks atau rumit sekali meski argumentasinya adalah partisipasi masyarakat dan seterusnya. Apalagi kalau diijinkan untuk calon independen tentu akan menimbulkan cerita lain lagi,” terangnya.
Ia menjelaskan partisipasi memang menjadi salah satu pilar demokrasi. Meski begitu, partisipasi harus dikelola sehingga tidak menyulitkan proses demokratisasi.
Artinya bukan berarti dengan demokrasi kemudian semua orang boleh berpartisipasi, semua orang boleh ngomong apa saja dengan cara apa saja dan seterusnya. Hal tersebut tentunya akan menjadikan proses demokratisasi akan terganggu.
“Pendapat saya seperti itu, saya tahu beberapa teman mengambil posisioning dengan argumentasi yang mungkin berbeda. Tapi putusan Mahkamah Konstitusi atau UUD kita menyatakan bahwa mereka yang mau maju capres itu dicalonkan partai atau gabungan partai. Sehingga kalau ada keinginan jalur independen tentunya harus merubah UU atau amandemen UUD 1945,” ungkapnya.
Mada menandaskan dalam demokrasi tetap harus ada aturannya. Berbicara demokrasi tentu bukan hanya pada level wacana atau level narasi, tetapi ia harus bergerak sampai pada level praksis atau praktik.
Kalau heboh di wacana tetapi secara praktik sulit dilakukan tentu akan menyulitkan proses demokrasi. Oleh karena itu, demokrasi harus membiasakan diri hingga level praksis dan tidak sekedar hanya di seputaran poin-poin besar demokrasi.
“Kalau soal poin-poin besar demokrasi pasti semua setuju, partisipasi semua orang setuju, kontestasi sebagai pilar demokrasi yang equal, adil pasti semua orang setuju, tetapi bagaimana untuk menterjemahkannya dalam praktek bertata negara, dalam praktek pemilu, itu yang kemudian menjadi banyak sekali perdebatan,” urainya.
Mada menilai diakui atau tidak memang ada pihak-pihak yang berkeingan jalan pintas dalam upaya menolak ambang batas persyaratan pencalonan presiden. Padahal, menurutnya, tidak ada jalan pintas untuk ini, dan jika berkeinginan merubah hanya melalui partai politik sebagai pilar demokrasi dan sistim politik.
Sayangnya, UU No7 tahun 2017 sudah tidak lagi menjadi program legislasi nasional. Pembahasan untuk itu sudah di drop, dan menurut beberapa tokoh kunci di DPR khususnya komisi II, mereka meyakini jika yang diperlukan paling hanya menyangkut revisi minor bukan untuk revisi mayor.
“Kalaupun ada revisi, misalkan soal nomenklatur disesuaikannya antara pilkada dan pemilu nasional itu saja. Tetapi sampai merubah sistem pemilu, merubah ambang batas pencalonan presiden, ambang batas pencalonan parlemen tidak ada lagi. Kecuali jika nanti ada perubahan yang sangat mendadak dan besar ya mungkin, bisa jadi tapi sejauh ini sepanjang situasinya seperti ini maka sepanjang itu pula soal ambang batas pencalonan presiden tidak akan dirubah,” paparnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : BisnisIndonesia.id