Mewujudkan penciptaaan lapangan kerja layak masih menjadi tantangan dan persoalan bagi pemerintah. Aturan soal perlindungan ketenagakerjaan dengan penghasilan yang layak menjadi sebuah keharusan untuk diwujudkan. Namun, regulasi bidang ketenagakerjaan yang ada sekarang ini tidak memungkinkan adanya penciptaan lapangan kerja yang layak karena adanya aturan memungkinkan perusahaan merekrut pekerja alih daya dan magang. Padahal, model hubungan kerja yang tidak tetap semacam itu justru memberi peluang adanya eksploitasi jadi meningkat, biaya tenaga kerja rendah dan termarginalisasi para tenaga kerja.
Hal itu mengemuka dalam Focus Group Discussion yang bertajuk Menuju Pekerjaan yang Layak: G-20, Precarity dan tantangan Sektor Ketenagakerjaan, Jumat (17/6). Diskusi yang diselenggarakan oleh Fisipol UGM ini menghadirkan empat orang pembicara yakni Sekjen Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI, Prof. Anwar Sanusi, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Dr. Amalinda Savirani, anggota peneliti Lembaga Penelitian Akatiga, Indrasari Tjandraningsih MA, Aktivis Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, Nining Elitos.
Indrasari Tjandraningsih mengatakan program perlindungan ketenagakerjaan sangat diperlukan jika ingin tenaga kerja kita mendapat penghidupan yang layak. “Perlu ada kesempatan kerja yang produktif yang mendatangkan penghasilan yang layak. Disamping perlindungan sosial dan prospek lebih baik dalam pengembangan personal dan kebebasan mereka dalam menyampaikan keluhan dan keprihatinan dalam pekerjaan,” ujarnya.
Namun, yang tidak kalah lebih penting menurutnya adalah kebebasan bagi tenaga kerja untuk berorganisasi dalam merespons keputusan yang berdampak pada dunia kerja dan kesetaraan tenaga kerja perempuan dan laki-laki.
Ia mengkritisi bahwa UU Cipta Kerja yang ada sekarang ini menjadi salah satu kendala dalam mewujudkan penciptaan lapangan kerja yang layak. Meski UU tersebut diterbitkan untuk memudahkan perusahaan agar mampu beradaptasi dalam situasi kondisi ekonomi global yang rentan terhadap krisis. Namun, di sisi lain melonggarkan aturan ketenagakerjaan. “Makin banyak aturan ketenagakerjaan makin rigid. Aturan yang seharusnya melindungi pekerja berdampak pada biaya tenaga kerja,” katanya.
Hubungan kerja yang tidak tetap menurutnya makin melemahkan posisi tenaga kerja sebab perusahaan menganggap pengangkatan pekerja tetap harus dibayarkan pensiun dan jika ada pemecatan diharuskan mengeluarkan pesangon sehingga memberatkan perusahaan. “Hubungan kerja tidak tetap ini makin meningkatkan peluang eksploitasi meningkat dan biaya tenaga kerja rendah dan marginalisasi tenaga kerja,” katanya.
Ia mengusulkan perlu adanya kontrak sosial baru antara pekerja, serikat pekerja dan pengusaha membicarakan ulang kontrak kerja. Hal itu dilakukan agar serikat pekerja setara dengan pemerintah dan pengusaha. “Memperkuat posisi tawar serikat pekerja dan pekerja akan memberikan perlindungan kerja yang fleksibel,” tukasnya.
Prof. Anwar Sanusi mengatakan tidak semua angkatan kerja terserap dalam perusahaan atau lembaga penerima kerja. Oleh karena itu, pemerintah mendorong anak muda untuk membuka lapangan kerja mandiri atau wirausaha sehingga bisa menyerap tenaga kerja yang lain. “Dari total penduduk kita sekarang, usia angkatan persentasenya hampir 70 persen lebih, bahkan usia 15-24 tahun lebih dari 20 persen. Talenta muda memberi ruang untuk berkreasi. Kita ingin membuka ruang inovasi yang bisa dimanfaatkan dan mengembangkan bisnis sesuai dengan lapangan kerja di sekitarnya,” katanya.
Salah satu yang dilakukan Kemenaker adalah rebranding dan revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) dalam memenuhi kebutuhan pengembangan SDM dan pengembangan talenta muda. Ia menyebutkan angkatan kerja muda terdidik saat ini lebih rentan jadi pengangguran. “Semakin muda usianya, makin rentan dan banyak bekerja di sektor informal. Kita ingin mendorong mereka yang kerja dari sektor informal ke formal. Tapi mereka yang bekerja secara informal, namun perlu dapat perlindungan saat bekerja dengan jaminan sosial ketenagakerjaan,” katanya.
Selain bekerja di sektor informal, angkatan kerja juga menghadapi kondisi mendapatkan upah rendah dan tidak layak. “Setiap 100 orang buruh ada 28 orang yang mendapat upah rendah, umumnya buruh berpendidikan rendah yang banyak bekerja di pertanian, perkebunan dan kehutanan,” katanya.
Dosen Fisipol UGM, Dr. Amalinda Savirani, mengatakan perlu ada perubahan cara pandang dalam paradigma adanya pergeseran sosiologis dan demografis tenaga kerja kita sekarang ini. Meski pemerintah telah merespons berbagai persoalan dan tantangan dalam mewujudkan fleksibilitas kerja, namun dari sisi cara pandang serikat pekerja justru memiliki cara pandang lain.
Menurutnya serikat buruh perlu menggandeng anak muda yang bekerja berbasis aplikasi sebagai bagian dari keanggotaan karena selama ini tidak terpantau dan mendapatkan perlindungan kerja serta jaminan sosial ketenagakerjaan dari pemerintah. Padahal di tengah kondisi ekonomi global yang tengah mengalami krisis dan arus teknologi yang menggantikan tenaga kerja manusia makin menyulitkan penciptaan lapangan kerja yang layak. “Sementara regulasi lebih banyak menekan daripada mengkonsolidasi,” ujarnya.
Bila selama ini serikat pekerja berfokus pada advokasi pekerja formal yang berkaitan dengan upah namun pekerja informal, penyandang disabilitas, pekerja domestik dan masih termarginal belum mendapat pengakuan dan perlindungan sosial ketenagakerjaan yang layak pula.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Freepik