Bangunan Candi Borobudur setiap tahun mengalami peningkatan tingkat kerusakan karena harus menahan beban jumlah pengunjung yang menaiki bangunan candi hingga kerusakan akibat faktor alam. Oleh karena itu, jumlah pengunjung yang naik ke candi Borobudur sebaiknya dibatasi untuk melestarikan dan mengkonservasi candi dari risiko kerusakan. Hal itu mengemuka dalam Seminar Series Kepariwisataan yang bertajuk Membicarakan (lagi) Borobudur antara Konservasi dan Pariwisata, Jumat (10/6).
Seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM ini menghadirkan tiga orang pembicara yakni Tenaga Ahli Puspar UGM, Prof. Yoyok Wahyu Subroto, Kepala Balai Konservasi Borobudur, Wiwit Kasiyati S.S., M.A., Direktur Utama Taman Wisata Candi Borobudur Prambanan Ratu Boko, Edy Setijono dan Pakar Geofisika FMIPA UGM, Dr. Wiwit Suryanto.
Yoyok menyebutkan hampir separuh dari batuan candi Borobudur merupakan hasil peninggalan bangunan dari abad ke-8. Apabila tidak dibatasi jumlah pengunjung yang menaiki candi maka dikhawatirkan gesekan kaki dari ribuan pengunjung setiap harinya akan menyebabkan pengikisan batu batu candi. “Apalagi jika ada pengunjung yang sampai naik ke bagian stupa,” katanya.
Menurutnya kebijakan membatasi pengunjung yang naik ke bangunan candi memang bisa merugikan dari sisi ekonomi terkait penerimaan negara dari sisi sektor pariwisata. Akan tetapi bagi Yoyok dari sisi arsitektur bangunan bersejarah dan bidang ilmu arkeologi maka diperlukan upaya untuk mempertahankan tingkat keaslian bangunan candi dari relief hingga stupa. “Perlu ada sinergi antara kebijakan upaya pelestarian dan pariwisata untuk saling konsolidasi dan kolaborasi,” ujarnya
Ia juga mengusulkan adanya upaya untuk menjadikan Borobudur sebagai kawasan yang bebas emisi karbon untuk menjaga dan melestarikan bangunan peninggalan bangunan belasan abad tersebut.”Jika kita tidak mampu merawat maka janganlah sekali-kali merusaknya,” kata Dosen Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik UGM ini.
Kepala Balai Konservasi Borobudur, Wiwit Kasiyati, mengatakan Borobudur sebagai bagian dari situs warisan dunia memang harus dipertahankan keaslian bangunannya apabila suatu waktu terjadi kerusakan. Menurutnya ancaman kerusakan tidak hanya dari beban jumlah pengunjung yang menaiki bangunan candi setiap harinya, namun juga berasal dari ancaman kerusakan dari faktor alam. “Terjadi kerusakan lain dari faktor alam berupa panas dan hujan memengaruhi batuan dan relief. Kondisi semakin ke sini makin mengalami kerusakan,” paparnya.
Sejak tahun 1983, kata Wiwit, pihaknya setiap tahun terus melakukan monitoring kondisi batu candi, perekatan batu candi, mengukur tingkat kerusakan pengelupasan dan sedimentasi hingga lubang alveol candi. Ia menyebutkan tingkat kerusakan batu tangga dan lantai mengalami kenaikan. “Kenaikan nilai keausan capai 0,175 cm per tahun, secara akumulasi 3,95 cm jadi akumulasi nilai keausan dari tahun 1984 hampir sampai 4 cm,” jelasnya
Meskipun candi Borobudur sekarang ini didukung beton bertulang tapi pada bagian stupa teras tidak ada beton bertulang sehingga berisiko sewaktu waktu terjadi kerusakan. “Kami melarang pengunjung naik ke stupa,” katanya.
Beban jumlah pengunjung yang semakin banyak tiap tahunnya menyebabkan tingkat deformasi vertikal candi Borobudur mengalami kenaikan. “Akibat beban pengunjung, deformasi vertikal capai 2,200 cm. Karenanya kita tetap hati-hati menjaga kelestarian dari candi Borobudur,” ungkapnya.
Sehubungan ada rencana pemerintah untuk menetapkan Candi Borobudur sebagai destinasi wisata super prioritas, kata Wiwit, para pengunjung yang naik ke bangunan candi akan menggunakan pemandu yang sudah bersertifikat dari Unesco. Meski Wiwit tidak menyebutkan harga atau tarif, Wiwit menegaskan bahwa pengunjung yang tidak naik ke struktur bangunan candi juga bisa memperoleh informasi soal Borobudur. “Kita ingin menjaga kelestarian candi dari ribuan pengunjung yang datang ke candi Borobudur,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Freepik