
Untuk mencegah terjadinya pernikahan dini yang diakibatkan adanya pergaulan bebas dan perzinaan maka diperlukan pembinaan akhlak dan karakter pada anak usia remaja. Tidak perlu lagi menyalahkan UU Perkawinan, namun yang terpenting bagaimana keluarga-keluarga memberikan porsi pendidikan yang baik bagi anak-anak.
“Media pembinaan akhlak dan karakter ini adalah keluarga, sekolah dan masyarakat atau Tri Pusat Pendidikan,” ujar Sekretaris MUI DIY, KRT. Drs. H. Ahmad Muhsin Kamaludiningrat, dalam Seminar “PERKAWINAN ANAK DI INDONESIA”, di Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Selasa (8/3).
Untuk mengantisipasi terjadinya perkawinan dini, kata Ahmad Muhsin, para guru, baik guru agama maupun guru bidang studi, perlu memberikan perhatian pembinaan akhlak dan karakter dengan mengintegrasikan aspek kognitif, afektif dan psichomotis. Menurutnya, penggunaan teknologi informasi tanpa bimbingan yang baik akan memengaruhi munculnya pergaulan bebas.
“Dengan adanya pergeseran tersebut banyak remaja terjerumus sex bebas yang berujung kehamilan di luar nikah. Akhirnya mereka pun terpaksa menikah dini dan banyak yang putus sekolah dengan kondisi yang belum siap,” katanya.
Seminar digelar untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 2016. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fatayat NU bersama Mitra Wacana, PKBI dan PSKK UGM dengan menghadirkan pembicara H. Ahmad Muhsin. K. (Majelis Ulama Indonesia), Anita Triaswati (PKBI DIY), Khotimatul Husna (Pengurus PW Fatayat NU), dan Prof. Dr. Muhadjir Darwin, M.P.A (Peneliti Senior PSKK UGM).
Prof. Dr. Muhadjir M. Darwin, MPA, peneliti senior di Pusat Penelitian Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan perkawinan anak lazim terjadi di negara-negara miskin di dunia. Perkawinan tersebut terjadi di Sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara dan Asia Tengah Selatan, Timur Tengah dan Afrika Utara, serta Amerika Latin.
Menurut Muhadjir sejumlah konvensi internasional sesungguhnya secara tegas melarang perkawinan anak. Bahkan, sebagian besar negara memiliki undang-undang tentang usia minimum seseorang melakukan perkawinan.
“Hanya saja, undang-undang itu tidak efektif karena adanya toleransi resmi terkait norma-norma budaya, sosial, dan adat yang membentuk serta mengatur institusi perkawinan dan kehidupan keluarga,” papar Muhadjir.
Sementara itu, Khotimatul Husna, Pengurus PW Fatayat NU DIY, menambahkan dalam berbagai penelitian menunjukkan di berbagai daerah faktor penyebab utama perkawinan anak adalah kemiskinan dan akses buruk atas pendidikan. Sementara itu, budaya patriarkhi menjadikan anak perempuan tidak memiliki hak otonom untuk menentukan sendiri masa depan, pendidikan, dan kebebasan memilih calon suami.
“Perkawinan anak terjadi karena anak perempuan dianggap tidak penting sehingga timpang relasi kuasanya antara anak perempuan dengan anggota keluarga yang lain,” ujar Khotimatul Husna. (Humas UGM/ Agung)