Korupsi merupakan tindakan kriminal yang hingga kini masih menjadi momok bagi seluruh negara dunia, termasuk Indonesia dan Prancis. Perilaku korupsi menjadi perhatian banyak pihak karena tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menimbulkan beban bagi masyarakat. Demikian halnya dengan media massa di kedua negara tersebut pun tak luput memberitakan berbagai kasus korupsi yang terjadi di negara masing-masing .
“Sayangnya berita yang muncul belum menunjukkan keberpihakan pada rakyat kecil, karena media hanya berkutat pada “zona nyaman ” saja,” kata Drs. BR. Suryo Baskoro, M.S., Rabu (30/12) di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM.
Dari penelitian yang dilakukan pada media cetak berbahasa Indonesia dan Prancis, khususnya harian versi daring, yaitu Kompas, Republika, le Figaro dan Le Parisien sepanjang tahun 2012-2015 menunjukkan bahwa terdapat kesamaan antara media Indonesia dan Prancis yang cenderung memfokuskan perhatian pada aktor sosial utama sebagai pusat informasinya. Pemfokusan itu terkait informasi tentang tindakan koruptif yang telah dilakukan oleh aktor utama dan konsekuensi atau sanksi yang diterima akibat tindakannya itu. Sementara itu, tidak ada pelibatan rakyat kecil atau aktor terdampak dalam konstruksi informasi yang dibangun dalam berita.
“Fokus tersebut menyebabkan media melupakan akibat tindakan koruptif sang aktor utama bagi aktor sosial yang terdampak yaitu masyarakat bawah,” jelas Suryo saat ujian terbuka program doktor dengan disertasinya berjudul “Berita Korupsi di Media Indonesia dan Prancis: Analisis Wacana Kritis”.
Dosen Jurusan Sastra Prancis FIB UGM ini menyampaikan bahwa dalam mengorganisasi wacananya, baik media Indonesia maupun media Prancis, terlihat hanya fokus pada informasi dan pendalaman seputar kasus yang diliput saja. Tidak tampak upaya eksplorasi lebih jauh, misalnya dengan mengaitkan kasus korupsi yang diliput dengan persoalan lain khususnya persoalan sosial terkait dampak tindakan koruptif pada rakyat kecil.
Demikian pula dalam produksi teks-teks korupsi, media di kedua negara itu cenderung memiliki hubungan interdiskursif dan hubungan intertekstual dengan teks-teks lain. Sumber-sumber interdiskursif dan intertekstual yang dipreferensikan dalam bangunan teks korupsi hanya teks-teks berupa referensi legal dan atau teks dengan kasus yang sama dalam terbitan sebelumnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa media di kedua negara tidak tergerak untuk menggali sumber-sumber interdiskursif dan intertekstual lain.
“Misalnya, teks tentang kemiskinan atau masalah sosial yang diyakini dapat menyediakan inspirasi untuk mengkonstruksi teks yang lebih menarik,” tutur pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Humas dan Keprotokolan UGM ini.
Ditambahkan Suryo, dalam praktik sosiokultural media pada kedua negara itu memiliki kesamaan, yakni terjadi praktik kuasa sepihak tersembunyi seperti media pada umumnya. Hal itu terjadi melalui identifikasi pelibatan aktor-aktor sosial dan substansi teks berita. Media membatasi area informasinya hanya seputar aktor-aktor sosial yang secara faktual terlibat maupun terkait pada kasus yang diliput dan melewatkan aktor terdampak korupsi.
Lebih lanjut disampaikan Suryo, ideologi korupsi pada media Indonesia dan Prancis mengartikan korupsi hanya terkait dengan persoalan hukum terutama pada proses pengadilan dan sanksinya. Ideologi seperti ini menafikan keterkaitan tindakan koruptif dengan persoalan dampak tindakan koruptif pada rakyat kecil.
“ Media seyogianya mengubah ideologi korupsi yang tidak hanya berkutat pada persoalan hukum dan sanksinya, tetapi juga meyertakan rakyat kecil di dalamnya,” tegasnya.
Ekspresi pemihakan pada rakyat kecil dapat diimplementasikan dalam berbagai cara antara lain dengan melakukan parafrasa, eksplorasi, dan disfemisme. Cara parafrastis dilakukan dengan mengungkapkan sebagian informasi yang didapat dengan cara lain, khususnya cara yang mengimplisitkan pemihakan rakyat kecil. Sementara pengembangan dapat dilakukan dengan memperkaya sisi intertekstualitas dengan teks atau referensi yang berkaitan dengan masalah sosial. Sedangkan disfemisme dengan menggunakan kata atau frasa yang lebih kasar seperti gratifikasi dan korupsi menjadi sogokan dan penjarahan uang negara.
“Jika parafrasa, eksplorasi, dan disfemisme tersebut dianggap sebagai intervensi media, justru hal itu dalam sudut pandang analisis wacana kritis dianggap sebagai praktik sosiokultural yang positif mengingat ketiga cara itu menghadirkan nuansa advokatif pada rakyat kecil,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)