Kebakaran lahan gambut yang terjadi di beberapa daerah telah menimbulkan kerugian bagi banyak pihak. Lahan gambut yang luasnya mencapai 10% dari daratan negeri ini menjadi salah satu aset bangsa yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun, hampir setiap tahun aset ini terdegradasi akibat kebakaran. Peristiwa ini terjadi karena kemerosotan etika pembangunan ekonomi nasional, ketika sumber daya alam secara sistematis ditransformasikan menjadi komoditas yang cenderung dikendalikan oleh kepentingan pasar. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya struktural lintas sektoral secara masif dan sistematis di bawah kepemimpinan nasional yang berwibawa.
“Kebakaran gambut ini 90% disebabkan oleh manusia dan 95% yang menerima dampaknya adalah manusia, karena itu kita bukan mengubah cara penanganan, tapi ubah manusianya. Birokrat paling hebat menciptakan cara, tetapi bagaimana menjalankannya, itu lebih penting,” ujar budayawan Radhar Panca Dahana dalam focus group discussion aksi bersama pengelolaan lahan gambut lestari.
Hal itulah yang menjadi latar belakang dari ‘Deklarasi Jogja’ yang mengatas namakan Gerakan Rakyat Peduli Gambut. Masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang, mulai dari akademisi, lembaga pemerintah, masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan swasta, serta organisasi mahasiswa mendeklarasikan 6 poin komitmen mereka terhadap upaya mengatasi persoalan lahan gambut, Rabu (16/12) di Balairung UGM.
Isi deklarasi yang dibacakan oleh Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., ini adalah pertama, kesadaran bahwa lahan gambut merupakan anugerah Tuhan untuk kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi bangsa Indonesia serta rahmat bagi seluruh alam. Kedua, kesadaran bahwa pengelolaan lahan gambut selama ini sudah mencederai spiritualitas budaya, hukum alam dan kemaslahatan umat sehingga menimbulkan bencana dan situasinya dalam keadaan darurat. Dalam poin ketiga para deklarator menyatakan tekad untuk mengembalikan pengelolaan lahan gambut secara lebih beretika dan bijaksana demi kemakmuran rakyat sebesar-besarnya agar lahan gambut tidak menjadi sumber bencana yang tidak terkendali, menurunkan harga diri bangsa dan meniadakan harapan untuk lebih beradab.
Poin keempat, menyatakan kehendak untuk menjaga keberlangsungan ekosistem gambut sebagai kesatuan hidrologis dengan cara memelihara kelembabannya dan sesuai dengan watak yang lebih mendekati aslinya. Selain itu, kearifan lokal berlaku dan disertai dengan perbaikan tata kelola serta untuk menjaga hutan rawa gambut yang masih belum terusik demi menjaga titipan anak bangsa kepada generasi masa depan. Kelima, deklarator menggalang partisipasi seluruh elemen bangsa secara kolektif, sinergis, dan berkelanjutan sebagai wujud tanggung jawab bersama semua pemangku kepentingan bangsa.
Oleh karena itu, bunyi poin keenam, untuk memenuhi harapan bangsa, mengantisipasi kehancuran peradaban dan masa depan bersama, deklarator bertekad memulai ‘Gerakan Rakyat Peduli Gambut’ dengan semangat gotong-royong yang sesuai dengan keluhuran budaya bangsa Indonesia. “Setelah ini kami akan membahas dalam kelompok kecil, berbagai aksi nyata secara detail yang akan segera dilakukan untuk mencegah kebakaran gambut di musim kemarau yang akan datang pada bulan Februari,” tambah Dwikorita mengakhiri pembacaan deklarasi. (Humas UGM/Gloria)