Penyandang disabilitas Indonesia hingga saat ini diperkirakan mencapai 11 juta jiwa. Sayangnya, mereka masih saja mengalami berbagai diskriminasi dalam pemenuhan haknya.
Danang Arif Darmawan, S.Sos., M.Si., dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) FISIPOL UGM menilai kehadiran negara masih kurang dalam memberikan jaminan dan perlindungan bagi penyandang disabilitas. Hal ini terlihat dengan masih adanya diskriminasi yang dialami difabel dalam memanfaatkan berbagai layanan publik dan pemenuhan hak-haknya.
“Negara harus terus hadir dan menjamin hak-hak penyandang disabilitas,” katanya saat dihubungi, Kamis (3/12).
Misalnya dalam aspek ekonomi, pemerintah belum menunjukkan keberpihakan pada penyandang disabilitas. Selama ini pemerintah mendefinisikan kemiskinan hanya dari perspektif ekonomi. Padahal rumah tangga yang memiliki penyandang disabilitas sangat berpotensi mengalami kerentanan menjadi miskin karena memiliki pengeluaran lebih tinggi dibandingkan keluarga lainnya untuk biaya perawatan difabel.
“Seharusnya kemiskinan tidak hanya didefinisikan dari perspektif ekonomi saja, tetapi juga aspek sosial seperti keluarga dengan penyandang disabilitas ini,” terang pemerhati masalah sosial ini.
Demikian halnya dalam bidang pendidikan, pemerintah semestinya dapat memberikan jaminan akses difabel untuk mendapatkan pendidikan dasar dan lanjutan inklusif. Tidak hanya sebatas membuka akses difabel bisa mengenyam bangku pendidikan saja, tetapi juga bisa menjamin keberlanjutan dalam menjalani proses pendidikan.
“Dalam pemberian dana pendidikan tidak bisa disamaratakan dengan sekolah umum seperti pemberian BOS atau BOSDA. Namun, aspek lain seperti penunjang pendidikan dan kesehatan juga harus dijamin,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Danang mengatakan pentingnya menggugah kesadaran masyarakat terhadap keberadaan difabel. Pasalnya sampai saat ini masih saja ada diskriminasi di masyarakat terhadap difabel. Padahal penyadang disabilitas adalah kelompok masyarakat yang sama layaknya masyarakat lainnya hanya saja memiliki kebutuhan yang berbeda.
“Kebijakan pendidikan inklusi selama ini sudah baik, tetapi jangan sampai masyarakat justru mengekslusi penyandang disabilitas ini,” tegasnya.
Penerimaan Orang Tua Kurang
Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam kehidupan, termasuk memperoleh pendidikan. Sayangnya, belum semua anak difabel dapat mengakses pendidikan dengan baik. Hal tersebut, salah satunya dikarenakan adanya hambatan psikologis pada orang tua dengan anak difabel.
Drs. Aisah Indati, M.S., dosen Fakultas Psikologi UGM mengatakan saat ini tidak sedikit orang tua yang belum bisa menerima kenyataan memiliki anak dengan kondisi berbeda dengan kebanyakan anak normal lainnya. Banyak yang merasa malu, bahkan menyembunyikan keberadaan anak mereka.
“Penerimaan diri orang tua pada anak penyandang disabilitas masih kurang, merasa malu dan cenderung menyembunyikannya,” jelasnya ditemui secara terpisah.
Akibatnya, kondisi anak menjadi semakin terpuruk karena kurang mendapat perhatian. Padahal mereka memiliki potensi yang bisa dikembangkan dalam berbagai bidang.
Menurutnya, orang tua memiliki peran penting dalam menangani anak berkebutuhan khusus ini agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Karenanya upaya peningkatan kesadaran masyarakat terutama orang tua dengan anak difabel penting dilakukan agar bisa menerima kondisi dan memberi dukungan sosial pada anak.
“Peran orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak berkebutuhan khusus,” terang pengampu mata kuliah Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus ini.
Indati menyampaikan anak-anak penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan anak-anak normal lainnya. Hanya saja, dalam penanganannya terdapat perbedaan dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak.
“Pendampingan atau parenting bagi orang tua dengan anak berkebutuhan khusus diharapkan dapat membantu mereka dalam menangani anaknya supaya bisa berkembang dengan maksimal,” terangnya.
Selain itu, penguatan kompetensi bagi para pendamping, guru sekolah luar biasa maupun sekolah inklusi pun perlu diupayakan. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Pasalnya, selama ini SDM yang ada belum sepenuhnya memahami pendidikan bagi anak difabel.
“Sebenarnya untuk kurikulum pendidikan bagi anak difabel sudah ada, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak. Hanya saja dalam implementasinya masih kurang sesuai karena kurangnya pengetahuan dalam pendidikan anak-anak ini,” paparnya. (Humas UGM/Ika)