
Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM akan kembali memberikan Anugerah Sastra dan Seni. Penganugerahan yang sudah berlangsung selama tiga kali ini rencananya akan diberikan pada “Malam Anugerah Sastra dan Seni”, di PKKH UGM, Rabu (2/12).
Dekan FIB UGM, Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono mengatakan sebagai lembaga pendidikan dan kebudayaan, salah satu perwujudan kegiatan FIB UGM adalah memberikan apresiasi karya sastra dan kegiatan berkesenian di Indonesia. Kegiatan ini menunjukkan kepada publik bahwa UGM tidak hanya terpaku pada kegiatan ilmiah dan IPTEK saja, melainkan juga mengakomodasi sisi-sisi kemanusiaan.
“Jadi, ini upaya FIB UGM dalam berpartisipasi nguri-nguri (melestarikan) kebudayaan dan seni. Mudah-mudahan dengan langkah ini, UGM menjadi semakin manusiawi, semakin beradab dan tidak selalu berorientasi ilmu yang segala sesuatunya harus dihitung dengan angka,” katanya, di ruang Fortakgama, Selasa (24/11).
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA menambahkan penganugerahan sastra dan seni merupakan acara tahunan yang diselenggarakan FIB UGM. Sebagai puncak rangkaian “Lomba Sastra dan Seni”, maka lingkup perlombaan semakin diperluas.
Jika penyelenggaraan Anugerah Sastra dan Seni ke-1 hanya sebatas lingkup fakultas dengan hasil karya yang masuk dari para mahasiswa, dosen, karyawan dan alumnus FIB UGM, maka di tahun ke-2, ruang lingkup peserta diperluas, yaitu bagi seluruh masyarakat yang berdomisili di Yogyakarta dan alumnus UGM. Tahun 2015 lomba pun diperluas di tingkat nasional dan terbuka bagi seluruh warga negara Indonesia.
“Dari tahun ke tahun, jumlah peserta yang mengirimkan karya-karya sastranya semakin meningkat. Tahun ini saja meningkat hampir 100 persen dari tahun sebelumnya, total yang masuk tahun ini sebanyak 2375,” papar Wening.
Jumlah tersebut terdiri dari lomba puisi sebanyak 1600 karya, cerpen sebanyak 518, foto 130, film 106 dan kritik sastra sebanyak 20 naskah. Peningkatan cukup signifikan pada karya film, karena di tahun sebelumnya (2014) hanya diikuti 16 karya.
“Memang mengejutkan, namun harus diakui saat ini adalah era digital, sehingga keikutsertaan di film cukup banyak. Ini pula yang mengingatkan arti penting penyelenggaraan kegiatan agar ada upaya balance, disaat arus masyarakat semakin digital, kita pun berharap yang cerpen, puisi tidak mati. Demikian juga kritik sastra, inilah inti penyelenggaraan acara yang berkembang ya silahkan berkembang, namun yang klasik dan normatif tidak mati, karena bagaimanapun masyarakat digital memang sangat berkuasa saat ini”, tambah Wening.
Dr. Aprinus Salam selaku ketua panitia sekaligus tim juri Lomba Cerpen menyatakan kegiatan ini sangat penting karena ditengah kekalutan yang terjadi hanya karya sastra yang diharapkan mampu membersihkannya. Berbagai kotoran dan kekisruhan hidup, karya sastra terus diperjuangkan selalu ada karena dapat sebagai tolok ukur peradaban bangsa.
“Karena tingkat peradaban di suatu negara itu bisa diukur dari seberapa karya sastranya. Jika karya satranya bagus, berarti pelan-pelan ikut dalam meningkatkan peradaban suatu negara,” katanya.
Aprinus mengakui terjadi peningkatan secara kuantitas terhadap kegiatan penganugerahan sastra dan seni tahun 2015. Bahkan di beberapa kategori sastra terjadi peningkatan cukup tajam, hanya saja cukup memprihatinkan untuk kualitas karya cerpen.
“Kesan saya banyak wajah baru, hanya saja untuk cerpen terjadi kesalahan pemahaman. Tentang cerpen itu, seolah-olah cerita seperti sinetron. Konstruksi sinetron agak merusak konstruksi naratif, ini tentu agak bahaya. Hampir 50 persen gaya ceritanya sinetron, menarik namun untuk kadar estetik dan filosofinya rendah,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)